Kamis, 08 April 2010

TUGAS KEKHALIFAHAN DI KOTA BANDUNG

Oleh : Hendar Riyadi


Saat Adam alaihissalam hendak diturunkan ke bumi, Adam disuruh singgah terlebih dulu di surga. Tujuannya adalah agar Adam dapat mempelajari kenyaman suasana surga untuk dapat mewujudkan suasana yang sama di bumi. Di gambarkan dalam kitab-kitab suci bahwa suasana surga itu sangat nyaman. Tidak terdengar kata-kata yang sia-sia, kedustaan dan yang menimbulkan dosa. Kata yang terdengar hanya salam kedamaian. Tiap pagi dan petang selalu melimpah rezeki yang penuh berkah. Tidak lapar, tidak haus, tidak telanjang dan tidak tersengat matahari. Itulah gambaran suasana surga yang akan menjadi bekal Adam dalam membangun dan memakmurkan bumi. Menjadi khalifah Allah.

Bumi pertama yang Adam pilih adalah kota Bandung. Daya tarik gravitasi keindahannya sangat besar. Dalam pikiran Adam, potensi suasananya hampir mirip dengan suasana surga. Tutur kata warganya sangat ramah dan santun. Hormat ka saluhuren, nyaah ka sahandapen jeng someah ka sasama (menghormati yang lebih dewasa, menyayangi yang lebih kecil dan santun kepada yang seusia). Alamnya, sangat mempesona, subur dan makmur. Masyarakatnya resep nulung kanu butuh nalang kanu susah (senang membantu yang memerlukan dan menanggung yang kesulitan). Silih asih, silih asah jeng silih asuh. Dalam kehidupan keluarga terjalin hubungan yang baik, hirup sauyunan, ka cai jadi saleuwi ka darat jadi salogak. Pendek kata, Adam berkesimpulan bahwa bumi Bandunglah yang sangat tepat untuk mewujudkan kondisi dan suasana sebagaimana gambaran surga. Mengemban tugas kekhalifahannya di bumi.

Sekian lama Adam berada di bumi Bandung. Setiap hari ia mengamati dan berkeliling mondar mandir dari kota ke desa, dari desa ke kota. Sudut-sudut mana saja yang kira-kira perlu diperbaiki, direkonstruksi atau bahkan harus di dekonstruksi. Hutan, air, udara dan iklim tak luput menjadi pengamatannya. Konon kata dunia iklim ini telah merubah. Bumi, kata para ahli tengah mengalami pemanasan yang sangat luar biasa. Mereka menyebutnya dengan "global worming" (pemanasan global). Adam memang merasakan juga gejala yang sama di bumi Bandung. Dulu sangat sejuk, tapi kini telah berubah menjadi panas. Jangan-jangan pikir Adam, ini berpengaruh pada perubahan emosi warga Bandung juga. Itulah hipotesis Adam berkait dengan hubungan perubahan iklim dan emosi. Sebab, belakangan, warga Bandung telah mengalami banyak perubahan. Ini mungkin juga bersamaan dengan meluasnya pembangunan di kota-kota dan di desa-desa.

Dulu, sebagaimana telah disebutkan, warga Bandung dikenal sangat ramah, santun dan menyejukkan. Tutur katanya hormat ka saluhuren, nyaah ka sahandapen jeng someah ka sasama. Resep nulung kanu butuh nalang kanu susah. Sili asih, sili asah jeng sili asuh. Hirup sauyunan, ka cai jadi saleuwi ka darat jadi salogak. Tapi kini telah berubah. Sebagian warganya jadi garihal tur telenges (kasar dan kejam). Tutur katanya kasar dan sikapnya kejam. Inikah munkin karena diakibatkan perubahan iklim? Global worming memang masalah besar. Tetapi, masalah perubahan emosi dan budaya tidak kalah pentingnya. Kata-kata kotor (sia-sia), penuh kebencian dan caci maki seharusnya mendapat perhatian semua warga. Apa yang terjadi dengan kota Urang Sunda yang dulu dikenal sangat ramah dan soméah itu? Kaum muda dan remajanya membuat geng-geng dengan simbol kekerasan dan ketelengesan. Budayanya tidak lagi santun. Sebaliknya, mereka resep maledog kanu gede, nalipak kanu leutik (menentang kepada yang besar, menendang dan menindas kepada yang kecil). Para orang tuanya melakukan pemerasan kepada warga dan penyunatan hak murid-muridnya. Antar keluarga dan tetangganya jadi individualis (aing-aingan) serta warganya senang berkelahi (pasea, garelut). Adam berpikir sejenak dan berkata kepada dirinya, inilah tugas kekhalifahan pertama di bumi Bandung. Tugas kekhalifahan ini berkait dengan norma dan moralitas budaya.

Saat berteduh di bawah pohon untuk menenangkan pikiran dan meredakan kelelahan, sambil mengarah ke aliran air sungai yang agak kehitam-hitaman, tiba-tiba Adam dikejutkan dengan ledakan besar. Adam terusik ketenangannya, lalu ia mencari sumber bunyi tersebut. Desas-desus, tumpukan gunung sampah Leuwi Gajah itu meledak dan terjadi longsor besar. Banyak warga setempat yang harus diamankan, dibawa lari ke rumah sakit dan bahkan ada yang terpaksa digotong ke pemakaman dan ditimbun dengan tanah. Konon memang karena leuwi tersebut telah dipenuhi gajah-gajah sampah yang gemuk-gemuk dan tingginya menjulang ke langit. Leuwi tersebut sudah rapuh, keropos dan berbau menyengat sehingga gajah-gajah sampah tersebut ambruk. Sejak itulah bumi Bandung dilanda banjir sampah. Jalan-jalan trotoar hingga protokol dipenuhi tumpukan-tumpukan limbah rumah tangga dan industri yang aromanya tak sedap. Udara Bandung berubah dari menyejukkan menjadi menyesakkan. Dengan sekejap waktu kota kembang telah berganti wajah menjadi kota sampah.

Adam menarik nafas panjang-panjang. Dadanya terasa sesak dan jantungnya berdetak keras. Ia termenung betapa tugas kekhalifahan yang satu ini sangat berat. Isu terakhir, gunungan sampah tersebut akan dijadikan PLTSa. Pembangkit Listrik Tenaga Sampah. Mungkinkah? Bagaimana dengan dampaknya? Apakah PLTSa tidak lebih berbahaya dari PLTN. Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir. Memang berbeda antara "Sa" dan "N". Tetapi, mungkin ledakannya akan sama. Dampaknya tidak hanya dapat membunuh bakteri dan mikroba, melainkan juga manusia. Inilah barangkali kenapa banyak warga menolak kedua proyek tersebut. Tugas kekhalifahan ini memang sangat berat. Perlu riset yang memadai, baik dampak lingkungan, pertimbangan ekonomi, hingga dampak sosial dan keramahannya bagi kemanusiaan.

Cucu-cucu Adam yang lahir di bumi Bandung, memang sama sekali tidak menghendaki menjadi miskin. Tuhan pun demikian, tidak menghukuminya sebagai manusia-manusia miskin. Tapi, kenyataannya di setiap persimpangan kota dan rambu-rambu lalu lintas, banyak bertebaran para pengemis dan anak jalanan. Setiap tahun bukan berkurang, malah telah menjadi mata pencaharian. Lapangan kerja baru yang kurang sehat. Mereka adalah usia-usia yang seharusnya ada dibangku sekolah. Ini adalah masalah sosial yang tidak mudah untuk dipecahkan. Banyak lembaga-lembaga, baik bentukan pemerintah atau swadaya masyarakat yang punya perhatian untuk masalah sosial ini. Tapi, mungkin kurang ketulusan dan keteladanan. Nyatanya berbagai program untuk pengemis dan anak jalanan tidak menyurutkan mereka untuk turun dan memilih jalanan sebagai tempat mangkalnya. Tempat segala aktivitas, kreativitas, hingga memejamkan matanya.

Adam mengingat-ingat kembali memorinya yang tersimpan lama sewaktu di surga. Suasana jalan-jalan seperti itu, tidak pernah ia temukan di surga. Inilah yang Adam pikirkan untuk mewujudkan gambaran ideal surga di bumi kota kembang itu. Ia berharap cucunya nanti lebih senang berada di sekolah dari pada di jalanan. Lebih bersahabat dengan buku bukan dengan genjringan. Lebih memilih menghirup karbon dioksida yang keluar dari mulut guru, dari pada menghirup gas emisi yang keluar dari knalpot kendaran. Mungkin program-program untuk penanganan para pengemis dan anak jalanan tersebut sudah dirumuskan secara baik. Tidak lagi diragukan. Orang Bandung memang ahlinya konsep. Hanya, barangkali perlu tiga kata lagi, ketulusan, keteladanan dan aksi.

Kini giliran Adam berkunjung ke sekolah-sekolah. Disana Adam dikerumuni guru-guru. Satu persatu guru-guru mengeluarkan unek-uneknya. Bu Raisya, guru PPKn pada sekolah itu mengeluhkan perlakuan yang beda kepada guru negeri dan guru swasta. Guru negeri mendapat tunjangan sedang guru swasta tidak mendapat tunjangan dari APBD. Padahal sama-sama guru. Kenapa membeda-bedakan pahlawan tanpa tanda jasa ini. Kalau anggarannya kurang mencukupi, kenapa tidak dibagi rata saja. Masing-masing misalnya, mendapat tunjangan untuk membeli buku seribu rupiah. Bu Verta maju ke depan. Guru Matematik ini menyesalkan kebijakan pemerintah yang masih belum berpihak secara serius kepada guru. Belum ada lompatan kebijakan yang berarti bagi peningkatan kesejahteraan guru. Seperti Bu Raisya dan Bu Verta, guru-guru yang lainnya juga mengeluhkan hal yang sama, yakni seputar masalah kesejaheraan guru. Ini tampaknya harus menjadi pemikiran bersama agar kualitas pendidikan kita lebih bermutu.
Mendengar keluhan guru-guru tersebut, Adam menggeleng-gelengkan kepala. Keningnya mengkerut keheranan. Kenapa, sejak ia turun ke bumi, perlakuan terhadap guru Umar Bakri ini tidak berubah. Padahal pikir Adam, ini adalah tugas kekhalifahan yang sangat mulia. Bangsa yang besar adalah bangsa yang lahir dari pendidikan. Sedang pendidikan yang besar adalah pendidikan yang menghargai para pahlawan tanpa tanda jasanya. Cita-cita Bandung bermartabat, sesungguhnya dapat dimulai dari perbaikan dunia pendidikannya.

Adam menyadari bahwa tugas kekhalifahan yang embannya sangat berat. Masalah norma dan moralitas kebudayaan, masalah lingkungan dan sampah, masalah sosial, pengemis, anak jalanan dan kemiskinan, serta masalah pendidikan. Pengalamannya mengenai gambaran ideal surga harus dapat diwujudkan di bumi Bandung melalui perhatian dan aksi yang agak relatif transformatif dalam menyelesaikan problem-problem tersebut. Semua itu memerlukan keterbukaan dan partisipasi pikiran, hati, kehendak dan tenaga dari berbagai pihak. Kita semua bukan sekedar saksi pasif atas zaman dan keadaan. Bukan sekedar obyek penderita baginya, atau menjadi bagian dari masalah itu. Tetapi kita yang harus membuat zaman dan keadaan kita sendiri menjadi baik, bermartabat dan berkeadaban.