Kamis, 08 April 2010

KERAPUHAN TEOLOGI DAN AKHLAQ

Oleh: Hendar Riyadi


Kita semua, tengah dihadapkan pada tantangan besar peradaban. Tantangan terbesar antara lain, datang dari dunia pendidikan dan kebudayaan. Kini kita tengah mengalami apa yang disebut sejumlah kalangan dengan “krisis dunia pendidikan” dan “krisis kebudayaan”. Wajah pendidikan dan wajah kebudayaan kita sangat muram. Meminjam bahasa agama, tampak iswaddat wujûhuhum atau wujûhuhum muswaddah (wajahnya hitam muram). Terlalu banyak kabut masalah yang menyelimuti langit pendidikan dan kebudayaan kita. Sampai-sampai banyak kalangan yang sangat pesimis dapat menata bangun kembali peradaban bangsa kita, karena melihat kemuraman dari wajah pendidikan dan kebudayaannya. Kedua institusi ini merupakan pesawat utama penggerak peradaban. Jika pesawat penggerak peradaban ini tidak berjalan atau mengalami kerusakan, maka dapat dipastikan gerak peradaban juga akan terganggu atau malah tidak dapat bergerak kembali.

Krisis dunia pendidikan dan krisis kebudayaan ini, sekali lagi, merupakan tantangan terbesar peradaban. Bila diamati, keduanya sangat berkait erat dan saling menentukan satu terhadap yang lainnya. Krisis dunia pendidikan dapat menyebabkan krisis kebudayaan, dan sebaliknya krisis kebudayaan dapat menyebabkan krisis dalam dunia pendidikan. Krisis pendidikan misalnya, ditandai dengan kegagalan dunia pendidikan dalam “memanusiakan manusia”. Suatu proses humanisasi yang sesungguhnya menjadi hakikat, misi, tujuan dan fungsi utama dari pendidikan.

Memanusiakan manusia yang dimaksudkan adalah menjadikan manusia sebagai hamba Allah (‘abd Allah), sekaligus khalifah Allah di muka bumi (khalifah Allah fi al-‘ard). Dimensi ‘abd adalah dimensi moralitas, spiritualitas dan kesalehan (religiously), sedang dimensi khalifah adalah dimensi intelektualitas dan humanitas (keilmuan dan kemanusiaaan). Sejatinya, pendidikan dapat membangun karakter manusia sebagai ‘abd Allah dan khalifah Allah fi al-‘ard tersebut. Tetapi, dalam realitasnya dunia pendidikan kita justru kerapkali melahirkan manusia (warga belajar) yang jauh dari karakter kesalehan, moralitas, spiritualitas dan religiusitas, serta tidak dapat mengembangkan dimensi intelektualitas dan humanitas secara baik.

Itulah krisis dalam dunia pendidikan. Krisis dalam dunia pendidikan seperti dijelaskan di atas, tentu sangat berpengaruh, menentukan dan bahkan mengakibatkan krisis dalam kebudayaan kita. Ilustrasinya adalah seperti membuat kue dan makanan. Pendidikan adalah lembaga pencetak tukang dan resep makanan, sedang kebudayaan adalah produk atau kue dari tukang dan resep yang digunakan. Jika tukang dan resepnya kurang baik, maka pasti produk kuenya pun kurang baik, atau malah gagal dalam memproduksi kue yang baik.

Demikian pula, kaitan antara krisis pendidikan dan krisis kebudayaan. Karena pendidikan gagal dalam memanusiakan manusia, yakni membangun manusia yang berkarakter ‘abd Allah dan khalifah Allah fi al-‘ard, sedang kebudayaan dibangun oleh manusia-manusia dari produk pendidikan yang gagal tersebut, maka sudah dipastikan kebudayaan yang dibangunpun akan mengalami kegagalan dan krisis yang tidak menentu. Misalnya, jika pendidikan melahirkan manusia (warga belajar) yang jauh dari karakter kesalehan, moralitas, spiritualitas dan religiusitas, serta tidak dapat mengembangkan dimensi intelektualitas dan humanitas secara baik, maka kebudayaan yang dibangunnyapun akan kosong dari dimensi-dimensi tersebut.

Sebaliknya juga, krisis kebudayaan dapat menyebabkan krisis dalam dunia pendidikan. Krisis kebudayaan misalnya, ditandai dengan pergeseran orientasi nilai (kepada yang lebih bersifat materialistik, hedonistik dan konsumeristik), dan semakin rapuhnya norma-norma masyarakat, baik norma keluarga maupun norma agama. Kedua norma yang menjadi benteng pertahanan moralitas kebudayaan tersebut, kini telah digantikan dengan “norma uang”. Norma uang itulah yang sekarang menjadi ukuran kebajikan, bahkan menjadi standar kebenaran dan kesalehan. Uang telah mengikat cara berpikir masyarakat dan membentuk pandangan hidup, sekaligus tujuan hidupnya. Bangsa kita memang masih rendah tingkat kesejahteraan ekonominya. Mereka akan dihadapkan pada berbagai persoalan hidup dan bergulat untuk memenuhi kebutuhan pangan, sandang dan papan, sehingga mengabaikan pertimbangan aspek spiritualitas, intelektualitas dan humanitas (rasa ketuhanan, keilmuan dan kemanusiaan) atau dimensi iman, ilmu dan amal. Trilogi ajaran agama yang sangat penting dalam pembangunan sebuah kebudayaan dan peradaban.

Perkembangan kebudayaan di atas, akhirnya membentuk suatu falsafah kebudayaan yang cenderung materialistik dan pragmatis. Materialistik artinya lebih berorientasi pada pemenuhan yang bersifat materi. Dalam falsafah kebudayaan ini, materi dijadikan sebagai tujuan kebaikan puncak, sedang dimensi spiritual hanya dijadikan sebagai kedok kesalehan untuk mengeruk keuntungan secara materi. Adapun falsafah kebudayaan pragmatis lebih menjadikan keuntungan atau pemenuhan kebutuhan sebagai nilai kebajikan. Dalam falsafah ini, kebaikan adalah sesuatu yang menguntungkan atau diukur oleh sejauhmana sesuatu itu dapat menjadi instrumen bagi pemenuhan kebutuhan atau alat mencapai tujuan. Pragmatisme kebudayaan ini sesungguhnya dapat bersifat positif jika plus nilai-nilai spiritualitas. Tetapi, karena kelahirannya dari rahim kebudayaan materialisme, maka pragmatisme juga bersifat materialistik. Artinya, keuntungan dan pemenuhan kebutuhan yang dikejar sebagai nilai kebajikan lebih bersifat materialitik.

Falsafah kebudayaan materialistik dan pragmatis inilah yang melahirkan krisis dalam kebudayaan bangsa kita. Falsafah kebudayaan materialistik dan pragmatis ini, juga mempengaruhi dan mengakibatkan krisis dalam dunia pendidikan. Falsafah ini telah menjadi pijakan dalam cara bekerja di dunia pendidikan. Cara bekerja yang terpenting adalah bagaimana menyelesaikan pekerjaan dengan baik yang menjadi beban tugasnya agar pantas memperoleh upah atau imbalan yang bersifat materi. Sementara bagi anak didik atau warga belajar yang terpenting adalah cepat lulus dan cepat mendapat pekerjaan. Hakikat, tujuan dan misi utama dari pendidikan, yaitu membangun karakter ‘abd Allah dan khalifah Allah fi al-ard menjadi terabaikan. Dalam keadaan demikian, maka dinamika dunia pendidikan hanya bergerak ke satu wilayah, menuju dan untuk materi.

Krisis dalam dunia pendidikan dan kebudayaan inilah yang sesungguhnya menjadi faktor utama penyebab lahirnya berbagai krisis lainnya, termasuk krisis dalam bidang politik, ekonomi, hukum dan krisis kemanusiaan secara luas. Oleh karena itu, mungkin tidak berlebihan bila dikatakan bahwa untuk menata bangun kembali peradaban bangsa kita, perlu memulai dengan mereformasi pendidikan dan melakukan revolusi kebudayaan. Reformasi pendidikan dan revolusi kebudayaan barangkali merupakan conditio sine qua non (syarat mutlak) dalam membangun suatu peradaban.

Ada banyak akar masalah dari semua krisis yang terjadi dalam dunia pendidikan dan kebudayaan kita. Namun, dari sejumlah akar masalah tersebut, yang sangat mendasar adalah terjadinya “kerapuhan teologis dan akhlaq”. Diantara bentuk dari kerapuhan teologis dan akhlaq ini adalah krisis ketulusan dan keteladanan. Dunia pendidikan dan kebudayaan kita sulit menemukan figur yang tulus dan tauladan yang baik. Semua lembaga dan institusi, termasuk pendidikan dan kebudayaan sudah dipenuhi oleh orang-orang “separuh siluman”. Tidak ada ketulusan dan keteladanan dalam rasa ketuhanan, rasa keilmuan dan rasa kemanusiaan. Oleh karena itu, untuk menata bangun kembali dunia pendidikan dan kebudayaan kita, perlu mencerahkan dan meneguhkan kembali teologi dan akhlaq umat ini, yakni ketulusan dan keteladan.

Tidak ada komentar: