Kamis, 08 April 2010

MASALAH MORALITAS SOSIAL

oleh: Hendar Riyadi


Pagi Bu …! Maaf aku kesiangan lagi. Ayo-ayo… semuanya ke lapangan, ikut upacara. Kata-kata itu memecah keheningan pagi nan dingin. Pagi itu, saat bel sekolah berdering, Cecin, salah seorang murid kelas IX pada satu sekolah tingkat SMP, baru tiba di sekolah. Dengan nafas yang masih terengah-engah, ia memasuki halaman sekolah untuk mengikuti upacara Senin pagi. Keringatnya yang belum mengering membasahi pakaian seragamnya yang putih lusuh. Sepatunya yang telah robek-robek, seperti buaya yang menganga hendak menyantap mangsanya, tampaknya ikut merasakan keletihan. Menjadi teman setia di kala suka, duka maupun luka. Kurang lebih 2,5 km jarak yang ditempuh dari rumah ke sekolahnya. Ia harus menempuhnya dengan berjalan kaki.

Teman-temannya juga bernasib sama. Jalan berliku dan turun naik, serta hutan belantara dilaluinya dengan tetatih-tatih. Demi setumpuk harapan tentang masa depan yang belum jelas, jarak terjal dan berliku bukan sebuah halangan. Keletihan, seragam yang lusuh dan sepatu yang banyak luka sayatan, tidak menipiskan semangat Cecin dan teman-temannya untuk pergi ke sekolah. Mereka menggantungkan cita-citanya di langit sekolah dan berharap kelak menjadi manusia yang dihargai kemanusiaannya.

Tenggorokannya yang kering kerontang tak tertahankan lagi. Tapi untung ada warung sekolah. Mereka cukup membeli seduhan minuman dengan segelas air es. Meski udara gunung yang sangat dingin, namun bagi Cecin dan teman-temannya, air es dapat menyegarkan kembali tubuh dan melegakkan tenggorokannya yang kehausan. Begitu gigihnya mereka menuntut ilmu. Tidak peduli saat hujan dan cuaca dingin menusuk-nusuk lubang pori-pori atau saat terik matahari membakar seluruh tubuhnya.

Upacara baru dimulai. Namun, tiba-tiba seorang siswa pingsan tergeletak. 5 menit kemudian beberapa siswa digandeng ke luar arena upacara. Seperempat jam kemudian di satu ruang sempit (para siswa menyebutnya ruang UKS) telah terkumpul 15 sampai 20 siswa yang sakit tidak tahan berdiri lama. Semua guru sudah tahu. Karena tidak ada upacara Senin yang dilewatinya dengan mulus tanpa siswa yang pingsan atau sakit tidak tahan berdiri lama. Alasannya pasti dua kata “belum sarapan”. Tapi, ini bukan belum sarapan yang biasa karena buru-buru takut terlambat datang ke sekolah. Orang tua mereka memang terkadang tidak punya beras untuk dimasak atau sesuatu yang dapat mengganjal isi perutnya. Karena itu, Cecin dan teman-temannya terkadang menempuh perjalanan ke sekolah dengan perut kerocongan.

Upacara telah selesai. Semua siswa masuk bergerombol ke kelas masing-masing, kecuali Cecin. Ia tengah diinterogasi oleh Guru Agamanya. Cecin sudah sering diperingatkan dan ditegur lantaran absensinya yang penuh alfa. Hampir setiap minggu ada saja hari-hari yang bolos. Guru Agamanya itu pada mulanya kesal karena beberapa kali diperingatkan untuk tidak bolos lagi, tapi tidak diindahkannya. Saat itu Cecin diiterogasi kembali. Namun, Gurunya sangat kaget ketika air matanya tergenang. Anak dari warga dusun itu berkata sambil menjatuhkan air matanya: “Bu, sebenarnya saya punya alasan tidak masuk sekolah”. Gurunya balik bertanya “apa alasannya”? Dengan suara terbata-bata, ia menjawab persis seperti alasan teman-temannya yang pingsan saat upacara: tidak bisa sarapan pagi. Ia menuturkan bahwa orang tuanya terkadang punya beras dan terkadang tidak. Saat tidak punya beras, ya saya tidak masuk sekolah karena tidak dapat sarapan. Kalau dipaksakan berangkat sekolah saya harus punya uang untuk jajan. Tapi, punya uang dari mana, beras juga susah didapat. Kini giliran Gurunya yang iba dan memahami persoalannya. Tidak sepatah katapun yang terucap.

Mungkin sangat banyak Cecin-Cecin yang lainnya di Negeri ini. Mereka memiliki semangat belajar yang kuat, tetapi terpaksa harus mengubur harapannya yang besar karena keterbatasan ekonomi keluarga. Tidak ada beras untuk dimasak atau tidak punya uang jajan sekedar sebagai pengganti tidak sarapan. Mata air yang dituju, malah air mata yang didapatkan. Mereka mungkin beruntung masih bisa sekolah. Sebab, banyak teman-temannya yang lain, terpaksa harus putus sekolah di tengah jalan. Apalagi harus melanjutkan ke tingkat menengah atas (SMA). Bagi mereka wajar atau wajib belajar 9 tahun saja seperti mendaki gunung yang terjal. Bukannya kesampaian, malah banyak yang tergelincir di tengah perjalanan.

Sementara itu, dalam kenyataan lain, Bu Uhani tengah menghadapi kemelut besar. Seolah kiamat telah dekat. Ia bingung saat tahun ajaran baru datang. Anaknya yang memasuki usia remaja takut tidak bisa melanjutkan pendidikannya ke tingkat menengah pertama. Tidak muluk-muluk, asal bisa sekolah saja sudah cukup. Tidak peduli sekolah bermutu atau tidak. Tidak mudah memang, bagi orang seperti Bu Uhani untuk bisa menyekolahkan anaknya. Ia harus pinjam sana, pinjam sini. Mahalnya biaya pendidikan, telah menipiskan semangat, bahkan menghapuskan harapan akan masa depan anaknya. Sekolah, kini alih-alih bisa menyelesaikan masalah hidup, malah menjadi masalah hidup itu sendiri. Bu Uhani masih beruntung bisa menyekolahkan anaknya, meski tergopoh-gopoh. Sementara banyak ibu-ibu yang lain terpaksa harus pasrah bila anaknya tidak bisa lagi melanjutkan sekolahnya.

Negeri ini adalah negeri yang kaya raya. Sumber daya alamnya melimpah ruah. Sumber daya manusianya tersebar di mana-mana. Dunia menghargai sistem demokrasinya. Semua itu, menjadi modal material (material capital), modal manusia (human capital) dan modal sosial (social capital) yang sangat berarti untuk pertumbuhan suatu bangsa. Tetapi, entah dimana yang salah. Dalam setiap ritual tahunan, masyarakat kita tetap harus mengantri zakat fitrah atau daging qurban. Berjejalan saat penjualan sembako murah digelar. Bahkan setiap hari tidak sedikit keluarga yang hanya memperoleh makan nasi aking, ubi kayu dan singkong. Inilah potret muran negeri ini. Suatu potret kemiskinan di sekitar kita.

Kemiskinan kita tampaknya bukan semata kemiskinan biasa. Tetapi, kemiskinan yang dimiskinkan. Dalam bahasa ahli ilmu-ilmu sosial disebut kemiskinan struktural. Yaitu, kemiskinan yang diciptakan oleh karena struktur sosial yang timpang. Ini bukan berkait dengan masalah teologi. Tuhan pasti tidak berkehendak bangsa kita menjadi miskin. Bukan juga masalah kenaifan manusia itu sendiri. Masyarakat kita pasti tidak menghendaki hidupnya miskin. Hampir semua kalangan sepakat bahwa kemiskinan kita akibat struktur dan sistem sosial yang munkar. Karena itu, kemiskinan lebih berkait dengan masalah moralitas. Moralitas masyarakat, pemerintah dan moralitas orang kaya di antara kita yang hampir membeku. Mata hati dan kepekaannya seperti telah terkunci.

Mari kita lihat agenda studi tour wakil rakyat kita. Bermilyar-milyar mereka habiskan ke luar negeri, tanpa hasil yang bermakna untuk kemajuan bangsa, apalagi kaum papa. Malah sebaliknya mengganggu rasa keadilan masyarakat yang tengah menderita kelaparan dan kekurangan giji. Lihat, mereka yang lagi memegang kebijakan. Mereka hanya menghargai dan memanjakan pengusaha yang bermodal besar. Kelas teri hanya dilirik sebelah mata. Lihat juga orang kaya disekitar kita. Mereka lebih tertarik untuk belanja di mall-mall besar, pesta di hotel-hotel berbintang, daripada menghabiskan kekayaannya untuk memberdayakan masyarakat. Mengangkat martabat kaum dhu’afa, fuqara dan masakin. Semua itu menunjukkan moralitas bangsa kita yang kurang berkemanusiaan, berkeadilan dan berkeadaban.

Kalau kita memang bermoral, ke mana moral itu ketika para petani kita menjerit akibat kelangkaan pupuk, rendahnya harga jual, buruknya irigasi dan transfortasi, serta ketidakjelasan arah kebijakan impor beras. Kemana moral itu ketika angka kemiskinan terus membengkak dan lapangan pekerjaan tidak mampu menyerap tenaga kerja yang kian membengkak. Ke mana moral itu ketika ratusan ribu masyarakat miskin terpaksa antri, bahkan ada yang kehilangan nyawa, untuk mendapatkan dana kompensasi kenaikan harga BBM. Ke mana moral itu ketika kehidupan para pekerja semakin terimpit akibat kenaikan harga, inflasi, dan ketidakwajaran upah yang mereka terima. Demikian Prof. Syafi’i Ma’arif mengilustrasikan kondisi moralitas kita.

Persoalan moralitas ini semakin memperkuat kesenjangan sosial dan menciptakan polarisasi (pengkutuban) masyarakat yang tajam. Tidak adanya keadilan dan rasa keadilan dalam masyarakat kita. Politik, ekonomi dan hukum kita masih telenges dan hanya berpihak kepada kaum kaya. Kalau moralitas keadilan itu ada, maka tidak akan lagi kita jumpai ritual tahunan ketika orang mengantri zakat fitrah atau mengantri daging qurban. Kalau moralitas keadilan itu ada, maka tidak akan ada lagi antri minyak tanah atau "demonstrasi tempe". Kalau moralitas keadilan itu ada, maka tidak akan ada lagi gerombolan orang yang berjejalan membeli sembako murah. Kalau keadilan moralitas itu ada, maka tidak akan ada lagi rumah-rumah pinggiran atau PKL-PKL yang tergusur. Kalau moralitas keadilan itu ada, dimana keadilan itu ketika anak-anak jalanan, gelandangan dan para pengemis yang semakin tak terhitung. Pendidikan yang mahal dan anak-anak putus sekolah. Bayi-bayi kekurangan gizi dan busung lapar. Petani yang susah membeli pupuk. Mahasiswa yang dipusingkan dengan mahalnya biaya kuliah. Para korban lumpur, tsunami dan pengungsi yang nasibnya tidak menentu.

Oleh karena itu, perbaikan masyarakat miskin atau yang dimiskinkan, tampaknya perlu dimulai dengan memperbaiki terlebih dahulu moralitas atau akhlak sosial bangsa kita. Moralitas kepada Tuhan mungkin sudah cukup. Bahkan terkadang kita melebihi Nabi atau Tuhan sendiri dalam beragama. Kita tidak segan-segan menghukumi dan menghakimi dengan sesat atau kafir kepada orang lain yang berbeda pemahaman dan keyakinan dengan kita. Tetapi, moralitas yang perlu dihidupkan dalam masyarakat kita adalah moralitas sosialnya. Al-akhlaq al-ijtima’i, social ethic atau akhlaq sosial. Kepekaan, rasa empati atas penderitaan dan mau meluangkan pikiran, serta menggerakkan tangan dan kaki kita untuk membantu dan membela mereka yang termiskinkan dan dimiskinkan. Inilah saya kira tugas bersama kita yang maha penting. Problem besar kita sekarang bukan lagi TBC (takhayul, bid'ad dan churafat), tapi problem besar kita hari ini adalah bid'ah peradaban, yakni kemiskinan dan ketidakadilan.

Tidak ada komentar: