Kamis, 17 Juni 2010

TRANSFORMASI KESALEHAN

Oleh: Hendar Riyadi


Ada banyak aspek penting yang menentukan keberhasilan pembangunan masyarakat yang baik (good society) atau masyarakat yang berperadaban. Salah satunya adalah modal kesalehan (virtuousness capital). Kesalehan yang dimaksudkan adalah suatu kondisi kejiwaan yang terhimpun di dalamnya nilai-nilai luhur dan kebajikan yang mendorong seseorang untuk selalu berbuat dan berprilaku yang baik. Tingkat kesalehan yang paling tinggi adalah kenabian. Yaitu, suatu kondisi kejiwaan yang terhimpun di dalamnya segala bentuk potensi kesucian (al-quwwah al-qudsiyah) sehingga membuka partisipasi Tuhan dalam setiap prilakunya melalui bimbingan wahyu. Contoh yang paling baik tentang hal ini adalah nabi Musa, Isa dan Muhammad Saw. Semuanya, memiliki potensi kesucian yang luar biasa sehingga membuka partisipasi Tuhan melalui bimbingan wahyu-Nya.

Musa, Isa maupun Muhammad Saw adalah teladan utama yang membangun masyarakat berkeadaban pada zamannya dengan modal kesalehan. Namun ada yang menarik dari perkembangan kesalehan kenabian tersebut. Jika nabi Musa dan Nabi Isa telah terpelihara kenabiannya sejak anak-anak, bahkan sejak dalam kandungan. Sejak bayi, nabi Musa terpelihara kenabiannya dari penguasa otoritarian Fira’un. Sedang nabi Isa, sejak bayi sudah diberi mukjizat dapat berbicara kepada masyarakat. Berbeda dengan keduanya, kesalehan kenabian Muhammad Saw., baru termapankan pada usia 40 tahun. Ini merupakan teladan yang penting bahwa kesalehan sangat bersifat manusiawi dan setiap orang memiliki potensi untuk memperoleh kesalehan ini.

Masalahnya adalah bagaimana seseorang dapat mencapai tingkat kesalehan? Jika mengikuti teladan nabi Muhammad, maka setidaknya ada tiga tahap proses transformasi kesalehan. Tahap pertama adalah pendidikan akhlak, moral dan budi pekerti luhur. Tahap ini perlu ditumbuhkan sejak usia dini. Sebab, tanpa pembinaan akhlak dan budi pekerti luhur sejak usia dini, maka kesalehan akan sangat tidak mungkin dapat tercapai. Seorang anak yang dibesarkan dalam kebohongan, maka menginjak remaja, dewasa dan seterusnya akan tumbuh dalam mentalitas ketidakjujuran atau kebohongan, baik yang bersifat pribadi maupun publik. Demikian pula, anak yang sejak dini diajari untuk mencuri, maka menginjak remaja, dewasa dan seterusnya akan tumbuh menjadi koruptor.

Oleh karena itu, tingkat kesalehan hanya dapat diperoleh melalui pendidikan akhlak dan budi pekerti sejak dini. Sejak usia dini anak-anak harus diperkenalkan dengan ajaran kebajikan, cinta kasih, ketulusan, kejujuran, kedermawanan, kerendahan hati, kepedulian dan teladan-teladan luhur lainnya. Imam Al-Ghazali menjelaskan empat kebajikan utama yang perlu selalu dilatihkan kepada anak, yaitu kebijaksanaan, keberanian, lapang dada dan keadilan. Lawannya yang harus dihindari adalah kedunguan, kebodohan, kejahatan (kelicikan, tipu daya); terburu nafsu (suka menonjolkan diri, angkuh, marah), pengecut (rendah diri, sempit pandangan); keserakahan (ketamakan, tidak tahu malu, kurang sopan, boros, kikir, riya, iri); dan ketidakadilan. Dalam konteks pendidikan budi pekerti ini, barangkali perlu kiranya disusun kurikulum yang sistematis, baik untuk lingkungan keluarga maupun sekolah.
Pembinaan budi pekerti ini juga yang menjadi kunci pencapai kesalehan nabi Muhammad. Sejak usia anak-anak hingga dewasa Muhammad Saw sangat terkenal dengan ketulusan dan kejujurannya, sehingga masyarakat menggelarinya al-Amin. Inilah tahap pertama yang harus ditempuh dalam proses transformasi kesalehan, yaitu pembinaan akhlak, moral dan budi pekerti luhur.

Tahap kedua transformasi kesalehan adalah tahannus. Dalam teladan kenabian, tahannus memiliki dua pengertian, yaitu pertama, tahannus berarti melakukan ibadah terus-menerus sepanjang malam. Biasanya dilakukan dengan cara menyendiri. Kedua, tahannus diartikan sebagai kegiatan berderma dalam rangka pembersihan jiwa. Menurut Ibn Humayd seperti diriwayatkan oleh al-Thabari, setiap tahun Rasulullah berderma memberi makan setiap fakir selama satu bulan. Berdasarkan pengalaman tahannus Nabi Muhammad ini, dapat disimpulkan bahwa proses transformasi kesalehan dapat dicapai melalui kegiatan ibadah terus-menerus dan kegiatan berderma. Kegiatan ibadah berarti adanya proses pembatinan keagamaan yang akan memancarkan cahaya spiritualitas. Sementara berderma lebih merupakan upaya peneguhan peran humanitas (social responsbility) dalam masyarakat. Dengan kata lain, proses transformasi kesalehan dapat dicapai melalui penguatan spiritualitas dan peneguhan peran humanitas dalam masyarakat.

Tahap ketiga adalah bimbingan wahyu. Pada seorang nabi, tahap ini merupakan puncak transformasi kesalehannya dengan penobatannya sebagai nabi. Bagi manusia biasa, tentu akan sulit mendapat bimbingan wahyu secara langsung dari Tuhan. Namun demikian, setiap orang dapat menerima bimbingan yang sama melalui suara ilahi atau suara nuraninya. Suara ilahi inilah yang akan membimbing setiap orang dalam segala gerak prilakunya sehingga ia akan mencapai tingkat kesaleh yang puncak. Hal ini dimungkinkan karena dua alasan, pertama, manusia itu sendiri sejak semula memiliki fitrah ketuhanan yang dapat dilatih secara terus-menerus untuk memancarkan suara-suara ilahiahnya. Kedua, seseorang yang telah mencapai proses kesalehan sebelumnya (berakhlak dan berbudi pekerti luhur, serta terus-menerus melakukan ibadah dan kegiatan berderma), maka sangat dimungkinkan akan terbukanya partisipasi Tuhan dalam setiap persoalan kehidupannya. Partisipasi Tuhan inilah yang berwujud suara-suara ilahi atau nurani tersebut. Dengan suara ilahi inilah setiap orang akan terbimbing prilakunya sehingga tetap dalam kesucian dan kebenaran.

Selanjutnya ada beberapa prinsip dan sikap yang perlu dipedomani dalam menapaki jalan kesalehan. Pertama, memiliki prinsip hidup dan kesadaran imani berupa tauhid yang benar. Ikhlas dan penuh ketundukkan, menjadi ibâd al-rahmân serta menjadi mukmin, muhsin, muslim, dan muttaqin yang paripurna. Kedua, menjadikan iman dan tauhid sebagai sumber seluruh kegiatan hidup. Ketiga, meneladani akhlaq Nabi, sidiq, amanah, tabligh, dan fathanah serta menjadi uswah hasanah. Keempat, dalam melakukan amal dan kegiatan hidup harus seantiasa didasarkan kepada niat yang ikhlas. Menjauhkan diri dari perilaku riya, sombong, ishrâf, fasad, fahsya, dan kemungkaran. Kelima, di manapun bekerja dan menunaikan tugas maupun dalam kehidupan sehari-hari harus benar-benar menjauhakan diri dari perbuatan korupsi dan kolusi serta praktek-praktek buruk lainnya yang merugikan hak-hak publik dan membawa kehancuran dalam kehidupan secara luas.

Keenam, senantiasa membersihkan jiwa/hati dan mejauhkan diri dari jiwa/nafsu yang buruk, sehingga terpancar kepribadian yang shalih yang menghadirkan kedamaian dan kemanfaatan bagi diri dan sesamanya. Ketujuh, melaksanakan ibadah mahdhah dengan sebaik-baiknya dan menghidup suburkan amal nawâfil (ibadah sunnah) sesuai dengan tuntunan Rasulullah. Kedelapan, selalu menyadari dirinya sebagai abdi dan khalifah di muka bumi, sehingga memandang dan menyikapi kehidupan dunia secara aktif dan postif. Melibatkan diri dalam pergumulan kehidupan dengan berlandaskan iman, Islam dan ihsan. Kesembilan, senantiasa berpikir secara burhâni, bayâni dan irfâni yang mencerminkan cara berpikir yang islami. Kesepuluh, mempunyai etos kerja yang Islami, seperti: kerja keras, disiplin, tidak menyia-nyiakan waktu, dan berusaha secara maksimal/optimal.