Selasa, 06 April 2010

BERISLAM SECARA KONTEKSTUAL

Oleh : Hendar Riyadi


Islam adalah agama normatif sekaligus agama historis. Disebut normatif karena Islam berisi ajaran-ajaran murni yang bersumber pada wahyu Ilahi. Ia bersifat mutlak dan universal. Berlaku tanpa terikat oleh ruang dan waktu (shâlih likulli zamân wa makân). Sebagai agama normatif yang mendasarkan pada pewahyuan, maka Islam bersifat meta historis (fauqa târikh). Tetapi, ketika Islam normatif ini ditindakkan di dunia, menyatu dengan pengalaman hidup manusia atau termanifestasi dalam sejarah, maka Islam bersifat historis. Menyejarah dan kontekstual. Misalnya, ketika Islam normatif yang berisi ajaran-ajaran murni dari wahyu Allah itu dihadapkan atau dilibatkan pada pengalaman kehidupan sosial dan budaya di Makkah, maka terjadilah apa yang disebut dengan Islam historis atau kontekstualisasi ajaran Islam di Makkah. Sama halnya, ketika Islam normatif dihadapkan atau dilibatkan pada pengalaman kehidupan sosial dan budaya di Madinah, maka terbentuklah Islam historis atau kontekstualisasi ajaran Islam di Madinah.

Pengalaman Islam historis atau kontekstualisasi ajaran Islam dalam sejarah ini sangat penting. Islam seperti kata Asghor Ali Engineer (2000 : 10) tidak pernah meninggalkan konteks situasinya. Islam selalu memperhatikan data dan fakta sosial yang berkembang dalam masyarakat, sehingga Islam menjadi solusi kongkrit bagi penyelesaian problem masyarakat ((Fazlur Rahman, 2000: 43; 1985: 6 dan 21). Dalam konteks situasi sosial Makkah yang bercirikan, antara lain kebodohan (jahiliyah) serta ketiadaan kepekaan dan tanggung jawab sosial, maka Islam banyak memperkenalkan ajaran untuk berpikir dan menggunakan kecerdasan akal (intelektual), serta mengajarkan untuk menajamkan nurani, kepekaan dan tanggung jawab sosial. Sedang dalam konteks situasi sosial Madinah yang bercirikan kemajemukan (pluralistik), maka Islam banyak memperkenalkan ajaran dialog dan visi agama Ibrahim yang hanif sebagai ajaran titik temu antara kaum muslimin dengan ahlu kitab.

Islam historis atau kontekstualisasi ajaran Islam dalam sejarah adalah proses interaksi dialektis antara Islam normatif dengan pengalaman hidup manusia dalam situasi sosial dan budaya setempat. Kontekstualisasi ini merupakan bentuk respons Islam terhadap berbagai persoalan aktual yang terjadi dalam masyarakat. Pemikiran penting dari konsep kontekstualisasi Islam ini adalah bahwa Islam mengandung petunjuk-petunjuk untuk manusia (hudan li al-nâs), seperangkat aturan penjelas (bayinât min al-hudâ), serta kriterium pembeda antara kebenaran dan kebatilan (al-furqân). Agar Islam ini tetap relevan, maka Islam harus ditindakkan di dunia sesuai dengan pengalaman hidup manusia dalam bersosial dan berkebudayaannya. Semangat dasar inilah yang menuntut keniscayaan untuk ber-Islam secara kontekstual. Ber-Islam sesuai dengan konteks situasi sosial yang dihadapi. Dengan ber-Islam secara kontekstual, maka Islam dapat disuguhkan secara fungsional, artikulatif dan transformatif. Fungsional artinya dapat memberikan manfaat bagi penyelesaian berbagai persoalan kehidupan. Artikulatif artinya menjadi tempat pengaduan dan rujukan setiap persoalan. Sedang transformatif mengandung arti dapat memberikan hidayah perubahan dalam masyarakat, memberikan pencerahan kebudayaan dan peradaban. Dengan demikian, Islam akan tetap shalih li kulli zamân wa makân (relevan untuk segala zaman dan tempat).

Dalam konteks Indonensia, kontekstualisasi Islam berarti ber-Islam secara kontekstual sesuai dengan situasi sosial masyarakat Indonesia. Jika konteks situasi sosial Indonesia ditandai dengan kemiskinan atau tingkat kesejahteraan ekonomi yang rendah, maka ber-Islam secara kontekstual di Indonesia harus dapat merespons dan menyelesaikan problem kemiskinan. Bagaimana Islam sebagai ajaran yang bersumber pada wahyu Ilahi dapat menjadi idiologi kritik terhadap berbagai ketimpangan sosial. Jika ketimpangan sosial tersebut diakibatkan oleh berbagai bentuk kemungkaran sosial dan struktur kuasa yang tidak berkeadilan, maka ber-Islam secara kontektual di Indonesia, berarti melawan kemungkaran sosial dan merubah struktur kuasa yang tidak berkeadilan menjadi struktur kuasa yang berkeadilan.

Dengan demikian, ber-Islam secara kontekstual di Indonesia seharusnya lebih menampilkan akhlaq sosial (al-akhlâq al-ijtimâ’iyah). Kemungkaran sosial dalam bentuk tindakan yang merugikan masyarakat publik seperti korupsi, perusakan hutan dan lingkungan, sedapat mungkin harus dihindari dengan lebih mengedepankan kesalehan sosial. Sementara struktur kuasa yang tidak berkeadilan dalam bentuk akhlaq telenges, kekkerasan dan keserakahan, serta ketidakberpihakan kepada kaum dhu’afa, fuqara, masakin dan mustadh’afin, sedapat mungkin harus dirubah dengan lebih mengedepankan akhlaq kuasa yang berkeadilan. Ber-Islam yang ditampilkan harus memperlihatkan sens of social crisis (peka akan krisis sosial). Karena itu, bentuk prilaku apapun yang dianggap menimbulkan kecemburuan sosial dan mengganggu rasa keadilan adalah bertentangan dengan nilai keberislaman yang sejati. Dalam hal ini, kepemilikan kekayaan oleh individu maupun lembaga yang bermilyar-milyar di tengah penderitaan masyarakat dan kerawanan pangan adalah tidak sesuai dengan akhlak sosial Islam. Demikian pula memakai perhiasan yang menyolok mata seperti gelang emas pada tangan atau melaksanakan kegiatan di hotel sembari berpesta dengan penuh tawa merupakan prilaku kemungkaran yang bertentangan dengan semangat ajaran tanggung jawab sosial dalam Islam.

Hal utama yang juga penting—selain akhlaq sosial—dalam ber-Islam secara kontekstual di Indonesia adalah pengembangan aspek muamalah. “Mengunyah-ngunyah” pikiran lama yang berkait dengan furu’iyah seperti masalah qunut, takbir ‘idain, tasyahud dalam qiyamu lail, persentuhan antara laki dan perempuan setelah berwudhu dan fatwa-fatwa hukum sejenisnya, sudah seharusnya dikurangi. Ber-Islam yang seharusnya ditampilkan dalam konteks keindonesiaan adalah ber-Islam yang dapat menggiatkan pemberdayaan ekonomi umat, meningkatkan etos kerja dan ber-Islam yang dapat menjaga kelestarian alam dan keseimbangan lingkungan. Ber-Islam yang dapat mengawal jalannya ekonomi, politik dan ekologi melalui etika, moralitas dan akhlaq al-karimah (kejujuran, ketulusan, kerendahan hati, keramahan dan kedermawanan). Ber-Islam secara kontekstual di Indonesia, juga seharusnya, mengurangi urusan bid’ah-membid’ahkan, kafir-mengkafirkan, dan segala hal yang bernuansa caci-maki, kebencian, dan permusuhan atas nama agama. Ber-Islam yang harus ditampilkan adalah ber-Islam yang memperkuat ukhuwah dan kerjasama untuk pengkhidmatan kemanusiaan. Ber-Islam untuk mengobati yang sakit, memberi makan yang lapar, memberi minum yang haus, menyantuni pengemis, meneduhkan mereka yang kehujanan dan kepanasan, serta menegarkan kembali mereka yang kehilangan keluarga, rumah dan harta benda.

Berdasarkan pemikiran di atas, dapat disimpulkan bahwa ber-Islam secara kontekstual di Indonesia merupakan suatu tuntutan kebutuhan intelektual dan praksis keagamaan. Dalam realisasinya, ber-Islam secara kontekstual ini memerlukan suatu rancangan teologi baru. Yaitu, cara pandang keagamaan yang lebih menekankan pada penajaman akhlaq sosial dan pengembangan aspek muamalah. Ber-Islam secara kontekstual semacam ini, perlu mengurangi pembicaraan agama dalam wilayah akidah dan ibadah yang bersifat individual. Apalagi yang hanya sekedar pembelaan diri dan kelompok atas nama agama atau akidah yang benar. Sebaliknya, ber-Islam secara kontekstual harus lebih mengedepankan pembelaan atas nama agama dan akidah yang benar terhadap kepentingan publik. Allahu a’lam.

Tidak ada komentar: