Selasa, 06 April 2010

ISLAM SEBAGAI IDEOLOGI SOSIAL

Oleh : Hendar Riyadi


Kaya dan miskin memang bukan hal yang aneh. Ini telah menjadi hukum sosial yang bersifat universal. Di mana-mana, di seluruh penjuru dunia ada yang miskin dan ada yang kaya. Hanya yang mengherankan adalah bila banyak orang kaya yang terbiasa dan tidak malu-malu berganti-ganti kendaraan mewah, punya tempat tinggal yang megah dan punya uang bermilyar-milyar, sementara orang miskin semakin menderita, kekurangan gizi dan kelaparan. Bila mereka yang kaya berasyik-ria menghambur-hamburkan uang untuk iklan citra keegoan diri atau shopping (belanja) di mall-mall besar dan menyantap makanan di kelas berbintang, sementara mereka yang miskin harus terpaksa menahan rasa lapar, kepanasan dan kedinginan.

Ini mungkin juga agak tidak mengherankan karena memang telah menjadi pemandangan umum. Tetapi, yang lebih mengherankan lagi adalah bila orang kaya tersebut adalah orang beragama yang percaya Tuhan dan membenarkan adanya kehidupan hari kemudian. Ini tentu sangat mengherankan, sebab bagaimana mungkin orang beragama bisa melakukan penindasan terhadap kaum lemah, misalnya antara lain, dalam bentuk ketidakpekaan dan ketidakpedulian terhadap penderitaan anak-anak yatim dan orang-orang miskin yang kekurangan gizi dan busung lapar, padahal itu merupakan inti ajaran agamanya. Tetapi, itulah kenyataan. Banyak orang kaya beragama, tetapi mereka tidak memiliki kepekaan dan kepedulian terhadap keberadaan kaum lemah, miskin dan tertindas. Karena itu, sangat mengherankan di tengah belasan ribu tangis anak busung lapar dan kekurangan gizi, mereka asyik memamerkan kekayaan, belanja di mall-mall besar, pesta-pesta dan makan-makan menikmati hidangan mewah sambil tertawa-tawa. Mereka merasa cukup dengan kesalehannya setelah ziarah (tour) ke tanah suci dengan paket haji plus yang sangat mewah, serta mengikuti training-training spiritual, training ma'rifat serta pelatihan shalat khusu' di hotel berbintang atau setelah mengeluarkan zakat dan infaq ala kadarnya.

Konon realitas masyarakat seperti itulah yang menjadi alasan turunnya Al-Quran surat al-Ma’un. Surat al-Ma’un ini berisi kecaman terhadap orang beragama yang tidak memiliki kepekaan sosial (sense of social responsbility). Muhammad Abduh menyebutkan bahwa banyak orang yang hidup pada zaman Nabi, mereka percaya kepada agama, membenarkan adanya Tuhan, beriman kepada ajaran yang dibawa oleh para rasul dan kepada kehidupan akhirat, namun mereka memperlihatkan sikap menindas terhadap kaum lemah dan tidak melakukan kebaikan yang dapat dirasakan oleh kaum miskin. Mereka juga merasa cukup dengan melaksanakan sejumlah ritual seperti shalat—yang pelaksanaannya tidak mengurangi harta dan menguras tenaga—namun mereka justru semakin menjauh dari inti ajaran agamanya, yakni keberpihakan dan pembelaan terhadap kaum lemah, miskin dan tertindas (Muhammad Abduh, 1999: 329-330).

Lebih lanjut Abduh menjelaskan bahwa surat al-Ma'un tersebut menyebut dua kategori karakter manusia beragama, yaitu mereka yang membenarkan agama dan yang mendustakannya. Menurutnya, karakter orang yang membenarkan agama adalah bercirikan keadilan, kasih sayang dan kebajikan kepada manusia. Sedangkan karakter dari pendusta agama bercirikan pelecehan terhadap hak-hak kaum dhu'afa, ketidakpedulian terhadap penderitaan orang-orang yang terdesak oleh kebutuhannya, kecintaan berlebihan kepada harta yang mendorong kepada egoisme, keangkuhan diri dengan kekuatan dan kekuasaan yang dimiliki, serta keengganan memberikan suatu kebajikan kepada mereka yang berhak menerimanya.

Doktrin Sosial Islam
Spirit teologi atau semangat ajaran al-Ma'un di atas adalah keharusan untuk menegakkan keadilan, kasih sayang dan kebajikan kepada manusia. Khususnya dalam melakukan pemihakan dan pembelaan kepada kaum dhu'afa, terutama anak-anak yatim, orang-orang miskin dan mereka yang terdesak kebutuhan. Spirit teologi al-Ma'un ini memperoleh pembenaran yang kuat dari gagasan sosial Islam tentang pembelaan kaum dhu'afa. Hal ini setidaknya digambarkan oleh Al-Quran dalam empat aspek berikut:
Pertama, gagasan sosial Islam mengenai kedudukan kaum dhu'afa. Islam secara tegas memandang kedudukan penting kaum lemah sebagai pemimpin dan pewaris bumi (QS. Al-Qashash [28]: 5). Kedua, Islam memandang suatu kepentingan dan keharusan untuk berpihak, melakukan pembelaan, dan memperjuangkan kaum lemah yang tertindas (QS. Al-Nisa’ [4]: 75). Ketiga, Islam sejak awal melontarkan kritik sosial terhadap berbagai bentuk eksploitasi kaum miskin serta ketiadaan rasa tanggung jawab sosial seperti tergambar dalam surat-surat awal Al-Quran. Al-Quran surat al-Humazah [104]: 1-3 misalnya, mengingatkan dengan keras mereka yang serakah dan telenges dalam menghimpun kekayaan dan mengangap kekayaannya tersebut dapat mengabadikannya. Lalu dalam surat berikutnya, al-Takatsur [102]: 1-2, Al-Quran juga memberikan peringatan keras terhadap orang-orang yang suka menghimpun kekayaan dan kemewahan atas dasar etika keserakahan. Sementara dalam surah al-Balad [90]: 11-16, Al-Quran menyinggung keengganan manusia untuk memberikan bantuan kepada sesamanya yang hidup dalam penderitaan dan kesengsaraan. Lebih lanjut, Al-Quran dalam surat al-Fajr [89]: 17-20 mengecam orang yang rakus mencintai kekayaan secara berlebihan, tidak memuliakan anak yatim dan tidak saling mengajak untuk memberi orang miskin. Surat-surat awal ini, secara jelas menunjukkan kecamannya terhadap praktek akumulasi kekayaan yang diperoleh melalui etika keserakahan, serta sikap eksploitasi sosial-ekonomi dalam bentuk ketidakpedulian terhadap penderitaan anak-anak yatim dan orang-orang miskin. Keempat, Islam mengecam bentuk pembangunan yang meninggalkan atau mewarisi generasi yang lemah (QS. Al-Nisa’ [4]: 9).

Spirit teologi al-Ma'un juga memperoleh pembenaran yang signifikan dari ajaran fundamental Islam itu sendiri, yaitu tauhid. Dalam padangan dunia Islam, doktrin tauhid sebagaimana dikemukakan Asghor Ali Engineer, tidak hanya mempunyai konsekwensi religius, tapi juga mempunyai implikasi sosial-ekonomi (M. Agus Nuryatno, 2001: 41-42). Artinya, kesadaran tauhid yang mendalam seharusnya melahirkan kehidupan yang penuh moral dalam aspek sosio-ekonomi dan bahkan sosio-politiknya. Hal yang sama dikemukakan oleh Ali Syari’ati bahwa tauhid dalam Islam merupakan suatu pandangan dunia yang hidup dan penuh makna, menentang keserakahan dan bertujuan memberantas penyakit yang muncul dari penumpukan uang dan penyembahan harta. Ia menghapus stigma eksploitasi, konsumerisme, dan aristokrasi (Farid Esack, 2000: 128-129). Dalam pemahaman ini, dapat disimpulan bahwa doktrin tauhid dalam Islam, selalu terkait dengan prinsip kemanusiaan, rasa keadilan sosial dan ekonomi. Inilah konsepsi tauhid sosial yang memperkuat visi teologi al-Ma'un. Konsepsi tauhid sosial ini dapat menjadi landasan gerakan keberpihakan dan pembelaan kaum dhu'afa dalam konsteks diskriminasi dan marjinalisasi secara sosial-politik.

Ajaran fundamental Islam lainnya yang juga memberikan pembenaran atas spirit teologi al-Ma'un di atas adalah doktrin jihad. Dalam Islam, jihad bukanlah ‘perang suci’ untuk mengislamkan kaum kafir (M. Quraish Shihab, 1992: 517) seperti yang salah dipahami oleh Barat. Sebab, Al-Quran mengutuk semua peperangan sebagai hal yang menjijikkan, dan hanya mengizinkan peperangan untuk mempertahankan diri (QS. al-Hajj [22]: 39-40). Bahkan menurut Armstrong, kemenangan perjuangan Nabi Muhammad, bukanlah dengan pedang, melainkan dengan menggunakan kebijakan anti kekerasan yang kreatif dan jujur (Karen Armstrong, 2001: 385.

Jihad dalam Islam sesungguhnya lebih merupakan perjuangan dan praksis (Farid Esack, 2000: 145), terutama dalam melindungi kepentingan orang yang tertindas dan lemah, atau untuk mempertahankan diri dari serangan musuh (Asghor Ali Engineer, 2000: 9). Karena itu, dalam perspektif spirit teologi al-Ma'un, jihad dapat menjadi landasan teologis, sekaligus landasan kerja dalam melakukan pembelaan terhadap kaum papa, lemah, miskin dan tertindas untuk menciptakan struktur sosial yang lebih humanis, egaliter dan berkeadilan. Sebab, keadilan tidak akan tercipta tanpa membebaskan golongan masyarakat lemah dan marjinal dari penderitaan (Asghor Ali Engineer, 2000: 33).

Ideologi Sosial
Spirit teologi al-Ma'un di atas, tentu menuntut pemahaman agama yang dinamis dan transformatif. Dalam bahasa lain, agama seharusnya tidak sekedar diimani dan difahami sebagai simbol bisu, apalagi acuh terhadap kemungkaran sosial yang terus berlangsung. Agama (Islam), meminjam ungkapan Ali Syari’ati, seorang mujtahid intelektual asal Iran, harus dipahami sebagai sebuah idiologi. Yaitu, sebagai sebuah ide, suatu gerakan kemanusiaan, gerakan historis dan gerakan intelektual. Bukan sekedar dipahami sebagai sebuah kebudayaan, yakni sekumpulan teologis, interpretatif dan historis (Ali Syari’ati, 1995: 18). Sebab, tanpa pemahaman idiologis seperti itu, Islam akan kehilangan makna, kemampuan dan kekuatannya dalam menciptakan gerakan, komitmen, tanggung jawab dan kesadaran sosialnya. Dalam ungkapan Abdurrahman Wahid, Islam akan hanya menjadi agama ibadah dan fiqhiyah dalam arti sempit dan terbatas, bukan lagi agama pemikiran, agama keadilan dan sekaligus agama kesejahteraan (Hassan Hanafi, 991).

Oleh karena itu, agama semestinya mengambil prakarsa untuk mempertanyakan berbagai ketidakadilan dan ketimpangan sosial yang terjadi. Lebih dari itu, agama juga dituntut untuk menanamkan kesalehan transformatif dengan ikut terlibat dalam mewujudkan masyarakat yang berkeadaban. Suatu masyarakat yang terbebas dari praktek eksploitasi, pemiskinan, marginalisasi dan dehumanisasi. Jika agama telah menjadi ideologi sosial dan dapat mengambil prakarsa dalam mempertanyakan berbagai ketidakadilan dan ketimpangan sosial yang terjadi, serta telah menciptakan kesalehan transformatif di level umat, maka agama akan selalu menjadi kekuatan sosial, budaya, politik, ekonomi bahkan kekuatan peradaban serta menjadi idiologi modern yang hidup.

Dengan demikian, semestinyalah agama dapat menghambat lajunya kenyataan orang-orang miskin yang semakin termiskinkan dan dimiskinkan. Mengurangi rumah-rumah pinggiran yang tergusur. Menipiskan jumlah pengangguran, anak-anak jalanan dan anak-anak yang putus sekolah, serta gelandangan dan para pengemis yang semakin hari semakin tak terhitung. Agama juga semestinyalah dapat mengurangi jumlah bayi-bayi yang kekurangan gizi dan busung lapar. Mempermudah petani untuk membeli pupuk dan mempermudah mahasiswa yang dipusingkan dengan mahalnya biaya kuliah. Lebih dari itu, agama semestinya dapat menyetop ritual tahunan tentang antrian masyarakat yang berjejal memperebutkan zakat fitrah dan kantong kecil daging kurban. Bukankah Rasul telah mengajarkan agama sebagai idiologi sosial ini dalam pernyataannya abghûni dhu'afâakum fa innakum turzaqûna wa tunsharûna bi dhu'afâ`ikum (cari dan bantulah kaum dhua'fa di sekitarmu, karena engkau diberi rezeki dan ditolong karena [berkah do'a] mereka). Wallahu a'lam.

Tidak ada komentar: