Kamis, 30 September 2010

TOLERANSI, MENGHARGAI PLURALISME

Oleh Hendar Riyadi


Toleransi adalah sikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan kelakuan dan sebagainya) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1997: 1066). Dalam tradisi keagamaan Islam, istilah toleransi ini masih relatif baru dan dipahami secara berbeda. Bahkan sebagaimana dikemukakan oleh Abdullah Ahmed al-Naim, sebagian besar masyarakat Islam menolak konsep toleransi ini dan menyatakan bahwa ayat-ayat yang mendukung ke arah konsep atau teologi toleransi ini telah dihapus (dimansukh) oleh ayat Al-Quran tentang jihad. Menurut mereka, ayat jihad yang banyak tersebar pada surat al-Taubah, turunnya lebih akhir dari ayat-ayat yang mendukug ke arah toleransi. Di samping itu, mereka yang mendukung toleransi, juga masih setengah-setengah dalam menjalankannya (melakukan toleransi terbatas dan bersyarat), sebagaimana yang terjadi pada masa-masa awal Islam dan berlangsung hingga sekarang (Abdullahi Ahmed al-Naim, Mohammed Arkoun dkk., 1996: 29). Sehingga tidak heran jika kalangan orientalis dan Barat pada umumnya banyak melihat Islam sebagai anti toleransi, anti hak asasi manusia (HAM), dan belakangan Islam dituduh sebagai “sarang” teroris.

Menurut Mohammed Arkoun, kecenderungan di atas sebagai akibat serius dari pengabaian terhadap aksioma-aksioma dasar yang mengakibatkan tidak adanya pemahaman apapun tentang Islam dan bahkan tentang toleransi itu sendiri (Mohammed Arkoun, 1999: 204). Oleh karena itu, perlu adanya pembacaan terhadap konsep-konsep dasar aksiomatis Al-Quran, khususnya yang berkaitan dengan teks-teks yang mendukung dan kemungkinan menjalankan gagasan toleransi penuh. Hal ini dimaksudkan untuk dapat merekonstruksi dan mereaktualisasi gagasan Islam sebagai rahmatan li al-‘alamîn dalam dimensi yang lebih luas.

Secara umum, akar-akar toleransi yang dirujuk dari teks kitab suci Al-Quran, dapat rumuskan dalam beberapa prinsip berikut: yaitu pertama, prinsip bahwa perbedaan (keragaman) keyakinan itu adalah kehendak Allah (sunnat Allâh) yang bersipat perennial. Al-Quran menyatakan bahwa “Sekiranya Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan kamu satu ummat (saja), akan tetapi Allah hendak menguji kamu tentang apa yang telah diberikan-Nya kepadamu, oleh karena itu, maka berlomba-lombalah dalam berbuat kebajikan” (QS. al-Maidah [5]: 48). Ayat ini menunjukan bahwa keragaman (pluralisme) merupakan suatu yang memang menjadi tujuan Tuhan dalam ciptaannya. Beberapa ayat lain yang senada dan secara eksplisit mendukung prinsip ini, diantaranya adalah QS. al-An’am [6]: 35; an-Nahl [16]: 93; al-Syura [42]: 8; Yunus [10]: 99 dan Hud [11]: 118. Oleh karena itu, paksaan untuk masuk kepada suatu keyakinan tertentu adalah bertentangan dengan semangat pluralisme atau keragaman (QS. al-Baqarah [2]: 256).

Kedua, prinsip bahwa pengadilan dan hukuman bagi keyakinan yang salah harus diserahkan kepada Allah sendiri. Tuhan lebih tahu siapa yang menyimpang dari jalan-Nya dan siapa yang mendapat petunjuk (QS. An-Nahl [16]: 125). Allah yang akan menjelaskan perbedaan dan perselisihan itu di hari kiamat (QS. al-Maidah [5]: 48). Prinsip pengadilan dan hukuman milik Allah ini, berkait erat dengan prinsip pertama tentang kehendak Allah akan keragaman. Pemahaman terhadap teks Al-Quran surat al-Ma’idah [5]: 48 menunjukkan bahwa kehendak keragaman syari’at dan minhâj dimaksudkan agar dapat diketahui kualitas amal saleh yang terbaik di antara keragaman itu. Dan dalam bagian akhir teks tersebut, Al-Quran menyatakan bahwa (penilaian) semuanya akan dikembalikan kepada Allah, dan Allah akan menjelaskan perbedaan-perbedaan yang diperselisihkan.

Prinsip bahwa pengadilan dan hukuman itu hanya milik Allah saja, menegaskan bahwa siapa pun di dunia ini, tidak memiliki otoritas sedikit pun untuk menilai serta menghukumi orang lain yang berbeda pemahaman, agama dan keyakinan, apalagi dengan mengatasnamakan Tuhan (QS. al-Baqarah [2]: 272). Dan karena itu, prinsip ini juga memberikan wawasan toleransi dan semangat keagamaan yang lapang untuk mengakui dan menerima eksistensi keyakinan yang berbeda. Semangat keagamaan yang toleran—atau dalam bahasa agamanya al-hanîfiyat al-samhah—inilah, yang digambarkan oleh Nabi sebagai bentuk keagamaan yang paling dihargai Allah.

“Ibnu Abbas menuturkan bahwa Nabi Saw. pernah ditanya, “Agama mana yang paling dicintai Allah?” Nabi menjawab, “Semangat keagamaan yang toleran (al-hanîfiyat al-samhah)” (Hadits Riwayat Imam Ahmad).

“‘Aisyah menuturkan bahwa Rasulullah Saw. pernah berkata, “Hari ini pastilah kaum Yahudi tahu bahwa dalam agama kita ada kelapangan. Sesungguhnya aku ini diutus dengan semangat keagamaan yang toleran (al-hanîfiyat al-samhah)” (Hadits Riwayat Imam Ahmad).

Menurut Roy P. Mottahedeh, pernyataan di atas menunjuk pada sebuah bukti lain mengenai pandangan signifikan dalam tradisi Islam awal yang berpendirian bahwa semua ummat manusia mempunyai “agama alamiah”, yakni melekat dengan “fitrah” spiritual dan moral yang ditiupkan Allah ke dalam jiwa mereka, yang atas dasar fitrah itulah kita harus mengasumsikan kebaikan fitrah sesama manusia (Abdullahi Ahmed al-Naim, Mohammed Arkoun dkk., 1996: 36). Pandangan ini membawa kepada prinsip yang ketiga, dan prinsip inilah yang mengakar paling kuat dalam pengembangan wawasan teologi toleransi, yaitu keyakinan kepada sebuah agama fitrah. Teks Al-Quran yang secara eksplisit merujuk kepada prinsip ini adalah ayat 30 dari surat al-Rum [30]: “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada (Agama) Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”.
Meski mayoritas kaum muslimin memahami arti fitrah dalam teks di atas sebagai agama Islam, tetapi kata fitrah juga—sebagaimana pandangan minoritas kaum muslimin—dapat bermakna “agama asal-mula ummat manusia, yang melekat, dan di capkan secara tak terhapuskan pada jiwa semua manusia” (Abdullahi Ahmed al-Naim, Mohammed Arkoun dkk., 1996: 37). Ini berarti bahwa setiap manusia (penganut agama) terikat dalam suatu persaudaraan keagamaan universal. Karena masing-masing agama lahir dari dan didasarkan kepada suatu sumber yang sama, yaitu agama Allah yang tertanam dalam diri-diri manusia berupa din al-fitrat (agama asal mula manusia). Dengan demikian, menurut Isma’il Raji al-Faruqi, keyakinan kepada agama fitrah ini, merupakan suatu terobosan paling penting ke arah pembinaan hubungan antarummat beragama (MT PPI, 2001: 46-47).

Prinsip keempat, dalam rangka membangun teologi toleransi adalah sikap saling menghormati antar kaum beriman. Di antara ayat Al-Quran yang menunjukan sikap saling menghormati tersebut adalah QS. al-An’am [6]: 108: “Dan janganlah kamu memaki sesembahan yang mereka sembah selain Allah karena mereka nanti akan memaki Allah secara melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah kami jadikan masing-masing ummat menganggap indah perbuatan mereka. Kemudian kepada Tuhan tempat kembali mereka, lalu Dia memberitahukan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan”.
Ayat di atas, memberikan pemahaman bahwa setiap penganutan agama telah menjadi sunnatullah akan menganggap baik apa yang dikerjakannya dalam agama mereka. Sehingga apabila ada yang mencaci, maka segera akan membalik memaki secara berlebihan. Oleh karena itu, memaki pekerjaan suatu penganutan agama yang mereka pandang baik, merupakan sikap yang tidak menghormati keyakinan agamanya sendiri.
Prinsip menghormati pemahaman atau penganutan agama yang beragam ini, sangat ditekankan dalam Islam karena dipandang sama dengan menghormati agama sendiri. Sebaliknya, mencaci agama lain sama dengan mencaci agama sendiri.
Prinsip saling menghormati antarumat beragama ini, lebih diperkuat lagi dengan banyaknya teks Al-Quran yang menunjukan anjuran untuk saling menolong atau kerjasama dalam menyuruh kebaikan, menegakkan amar makruf dan nahy munkar baik secara individual maupun komunal yang tidak terikat oleh perbedaan keyakinan, warna kulit, jenis kelamin atau yang lainnya.

Sekalipun perlu dicatat bahwa banyak teks Al-Quran yang menimbulkan pemahaman (doktrin) ketidakbolehan melakukan pertemanan, persahabatan atau kerjasama dengan kalangan non muslim bahkan ada perintah untuk memerangi mereka. Di antara teks yang menunjukkan hal itu adalah QS. Ali Imran [3]: 28, 118; al-Nisa [4]: 89, 91, 139, 144; al-Ma’idah [5]: 51, 57; al-Taubah [9]: 23; al-Mumtahanah [60]: 1; dan al-Baqarah [2]: 191. Tetapi harus diingat bahwa ayat-ayat di atas memerlukan pendekatan secara kontekstual dalam memahaminya.

Menurut Rasyid Ridha ayat-ayat di atas merupakan penegasan larangan mengadakan hubungan pertemanan dengan orang-orang non muslim karena sikap permusuhan dan pernyataan perang mereka, bukan karena perbedaan agama itu sendiri. Rasyid Ridha mengutif keterangan Ibnu al-Qayyim bahwa pada saat Nabi datang ke Madinah, kalangan non muslim terpecah menjadi beberapa golongan. Setelah Nabi mengadakan perdamaian dengan orang-orang Yahudi (yang terdiri dari Bani Qainuqa, Bani Nadhir dan Bani Quraidhah) serta menandatangani suatu dokumen keamanan, Bani Qainuqa setelah perang Badar kemudian memerangi Nabi serta menunjukan sikap jahat dan dengki. Sementara Bani Nadhir melanggar perjanjian serta Bani Quraidhah menunjukkan permusuhan yang keras terhadap Nabi dan melanggar perjanjian ketika terlibat dalam perang khandaq. Menurut Rasyid Ridha, konteks inilah yang merupakan sebab semua larangan mengadakan hubungan pertemanan dengan kalangan Ahlul Kitab, Kristen Arab dan Romawi serta kalangan yang menyatakan perang kepada Nabi (Rasyid Ridha, 1999: 351).

Dengan demikian, prinsip saling menolong, kerjasama dan mengadakan hubungan pertemanan, masih tetap menjadi sikap keutamaan moral universal selama yang diajak kerjasama tidak memperlihatkan permusuhan, kekerasan, penindasan, pengusiran dan perang. Prinsip ini berlaku tidak hanya sekedar dalam hubungannya dengan kalangan non muslim, tetapi bahkan juga dengan kalangan seagama sekalipun.
Di samping itu, banyak lagi teks Al-Quran mengenai prinsip koeksistensi damai yang mendukung wawasan teologi toleransi di atas. Ayat Al-Quran yang banyak dikutif dalam rangka menjelaskan prinsip koeksistensi damai ini adalah QS. al-Mumtahanah [60]: 8-9 dan al-Anfal [8]: 61. Dalam Islam, prinsip koeksistensi damai ini merupakan prinsip dasar hubungan antar manusia sesuai dengan arti generik dari kata islam itu sendiri, yakni damai. Oleh karena itu, menerima Islam sebagai agama, konsekwensinya menerima koeksistensi damai ini sebagai pokok ajarannya (MT PPI, 2001: 45).

Kelima (terakhir) adalah prinsip keadilan dan persamaan. Teks Al-Quran yang berbicara mengenai prinsip ini adalah QS. al-Nisa’ [4]: 130; al-Ma’idah [5]: 8; al-Nahl [16]: 9 dan al-Hadid [57]: 25. Dalam Islam, prinsip keadilan ini bersifat umum sehingga berlaku juga dalam hubungan antarumat beragama. Menurut Sayid Quthub, keadilan (adl) ini merupakan dasar persamaan sebagai asas kemanusiaan yang dimiliki oleh setiap orang. Keadilan baginya bersifat inklusif, tidak ekslusif untuk golongan tertentu (J. Suyuthi Pulungan, Prinsip-prinsip Pemerintahan dalam Piagama Madinah Ditinjau dari Pandangan Al-Quran, (Jakarta, 1996: 225). Oleh karena itu, menurut Ibnu al-‘Arabi, ketika menafsirkan teks Al-Quran surat al-Mumtahanah [60]: 8, berlaku adil itu wajib, sekalipun terhadap orang-orang kafir (baik yang memerangi maupun yang tidak) (M. Quraish Shihab, 1997: 118).

Dalam beberapa tempat, Al-Quran juga memerintahkan untuk berlaku adil terhadap setiap kelompok, baik terhadap diri sendiri, keluarga maupun terhadap kaum kerabat (QS. al-Nisa’ [4]: 135). Bahkan Al-Quran juga memerintahkan untuk berlaku adil kepada musuh dan tidak menjadikan kebencian sebagai penghalang untuk berlaku adil (QS. al-Maidah [5]: 8). Ide atau prinsip keadilan inilah yang juga menjadi pesan dasar keagamaan seluruh Rasul sebagaimana dinyatakan oleh Al-Quran dalam surat al-hadid [57]: 25. Hal ini menunjukan inklusivitas dan universalitas keadilan yang berlaku untuk semua kaum atau komunitas, baik komunitas agama maupun komunitas non-agama, intraumat maupun antarumat beragama. Dalam konteks hubungan sosial antarummat beragama, ide keadilan ini merupakan prinsip dasar untuk memperlakukan orang-lain-agama secara sama, adil dan tidak diskriminatif, baik dalam pengelolaan sumberdaya ekonomi, politik, sosial-budaya dan pendidikan, maupun dalam penetapan hukum.

Semangat adil inilah yang pernah dicontohkan oleh Muhammad Saw., sebagaimana yang terjadi dalam kasus Zaid bin Samîn, seorang Yahudi yang dituduh mencuri baju besi. Dalam kasus tersebut, seorang laki-laki dari Bani Zhafar, Tu’mah bin Abîraq mencuri baju besi dari tetangganya, Qatadah bin Nu’man. Kemudian dia menyembunyikannya di rumah seorang Yahudi yang bernama Zaid bin Samîn. Pada saat dicuri, baju besi itu tersimpan di kontong tepung, sehingga bekas-bekasnya berceceran. Ketika diselidiki, bekas ceceran tepung tersebut, sampai di rumahnya Tu’mah, tetapi ketika ditanyakan Tu’mah mengelak, padahal dia mengetahuinya. Kemudian, penyelidikan dilanjutkan sampai ke rumah seorang Yahudi yang bernama Zaid, dan baju besi itupun ditemukan. Lalu, orang-orang dari kalangan Bani Zhafar, kaum dari Tu’mah, melontarkan tuduhan pencurian kepada Yahudi tersebut, dan melaporkannya kepada Nabi. Menerima laporan seperti itu, lalu Nabi bermaksud menghukumi orang Yahudi tersebut. Tetapi, ketika Tuhan memberitahukan mengenai peristiwa sebenarnya, dengan menurunkan ayat 105-113 dari surat al-Nisa, Nabi kemudian membebaskannya (Al-Zamakhsyari, 1995: 550).

Tidak ada komentar: