Kamis, 30 September 2010

"DAN TUHAN PUN MENYUKAI KERAGAMAN"

Oleh : Hendar Riyadi


Dalam kehidupan keseharian, kita menyaksikan banyak bentuk keanekaragaman. Baik dalam makanan, minuman, buah-buahan, tumbuhan, gunung, bebatuan, binatang, maupun keanekaragaman manusia itu sendiri. Kalau kita masuk ke salah satu rumah makan atau pergi ke pasar misalnya, maka kita akan mendapatkan beraneka ragam lauk-pauk dan sayur-sayuran. Ada goreng ayam, ikan, pindang, udang, telur, tahu, tempe dll. Ada sayur kangkung, bayam, wortol, kacang, terong, daun pepaya, daun singkong, seladah dan yang lainnya. Selain aneka ragam makanan, kita juga menjumpai aneka ragam minuman. Ada sprite, fanta, teh botol, coca cola, jus jeruk, alpukat, tomat, dan aneka ragam minuman yang lainnya. Kita juga mendapati aneka ragam buah-buahan seperti jeruk, apel, pepaya, melon, semangka, rambutan, anggur, dukuh, lengkeng, serta aneka ragam buah-buahan yang lainnya. Sementara, kalau kita rekreasi ke kebun binatang, maka di sana kita mendapati beraneka ragam binatang seperti gajah, unta, sapi, kerbau, ular, monyet, buaya, harimau, jerapah, dan aneka ragam binatang lainnya. Semua itu, menunjukan realitas keanekaragaman dalam hal makanan, minuman, buah¬-buahan, tumbuhan dan binatang.

Keanekaragaman yang sama juga terjadi pada manusia. Alam manusia seperti yang kita saksikan mempunyai beraneka ragam budaya (multikultural), mencakup keanekaragaman tradisi dan adat kebiasaan, bahasa, etnis, ras, serta keanekaragaman agama dan kepercayaan. Di Indonesia misalnya, terdapat beraneka ragam bahasa, tradisi dan adat kebiasaan, serta etnis dan suku bangsa. Ada Sunda, Jawa, Madura, Bali, Batak, Aceh, Padang, Bugis, Nias, serta aneka ragam etnis yang lainnya, seperti Sasak dan Bima. Bangsa Indonesia juga mempunyai keanekaragaman agama seperti Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Budha, konghucu dan berbagai kepercayaan lainnya. Beberapa daerah diantaranya mempunyai identitas agama tersendiri yang biasanya dikaitkan dengan etnis tertentu. Misalnya, Aceh Muslim, Flores Katholik, Bali Hindu dan sebagainya. Identitas (kepemilikan pada kelompok sosial tertentu) tersebut, memberikan stabilitas sosial, status (harga diri, martabat, dan kebanggaan), serta pandangan hidup, cara berpikir, dan etos tertentu yang membedakannya dengan identitas lainnya.
Dalam spektrum yang lebih luas, kita juga menyaksikan keanekaragaman budaya, etnik, ras, bahasa dan agama, terjadi diberbagai negara di dunia, seperti di Amerika, Belanda, Inggris, Perancis, India dan negara-negara lainnya. Setiap negara memiliki identitas kebudayaan masing-masing sesuai dengan cara pandang terhadap dunianya. Hal ini menunjukan bahwa keanekaragaman budaya, bahasa, etnis dan agama, merupakan fakta alamiah yang berlaku umum, universal. Dalam bahasa antropologi seperti disebutkan Emile Durkeim, bahwa segala sesuatu di alam ini terpecah dan terbagi menjadi kategori-kategori yang kompleks atau mengandung multiformitas (beraneka ragam bentuk) yang tidak mungkin dapat diseragamkan dan dijadikan satu bentuk tunggal. Menurut Durkheim kategorisasi-kategorisasi itulah menjadikan keteraturan dalam kehidupan manusia (Achmad Fedyani Saifuddin, Antropologi Kontemporer, Suatu Pengantar Kritis Mengenai Paradigma, Jakarta: Prenada Media, 2005, hal. 5.). Kategori-kategori ini, sekali lagi, menunjukan realitas akan suatu bentuk keanekaragaman atau multiformitas alam. Tesis ini sejalan dengan pernyataan Al-Quran bahwa Allah menundukan apa yang diciptakan untuk manusia di bumi dengan beraneka ragam macamnya (QS. Al-Nahl/16: 13).

Oleh Karena itu, sudah dapat dipastikan bahwa gagasan keseragaman (hamogenitas) atau penunggalan budaya (monokultural), akan mendapat penolakan dan perlawanan. Bentuk penyeragaman atau penunggalan budaya (monokultural), baik oleh negara maju atas negara berkembang (melalui globalisasi) atau oleh negara atas masyarakat sipil (berupa kebijakan penyeragaman) dan atau oleh suatu komunitas mayoritas atas komunitas minoritas (dalam bentuk pemaksaan keyakinan) adalah bertentangan dan melawan fakta alamiah tersebut. Kenyataan ini meniscayakan untuk menjadikan hidup dalam perbedaan sebagai pilihan yang tidak bisa ditawar-tawar.

Berkaitan dengan keanekaragaman agama atau syari’at, Syaikh al-Akbar Ibnu ‘Arabi, dalam karya the magnum oppus-nya, Futûhât al-Makiyat, menjelaskan secara baik bagaimana lingkaran keanekaraman itu terjadi. Pertama, menurut Ibnu ‘Arabi, keanekaragaman syari’at (religious diversity) disebakan oleh keanekaragaman relasi Tuhan (devine relationships, nasab al-Ilâhiyat). Tuhan sebagai wujud yang memiliki kehendak selalu melakukan hubungan (relasi) atau komunikasi dengan para nabi-Nya pada setiap masa dalam menyampaikan kehendak (wahyu) atau syari’at-Nya. Relasi Tuhan dengan seorang nabi, berbeda dengan relasi Tuhan kepada nabi-nabi yang lainnya. Karena itu, syari’at yang disampaikan oleh setiap nabi pun berbeda-beda (beranekaragam). Misalnya, syari’at Nabi Muhammad berbeda dengan syari’at Nabi Isa, Musa dan syari’at nabi-nabi yang lainnya. Itulah menurut Ibnu ‘Arabi yang dimaksudkan dengan pernyatan Al-Quran bahwa ”Setiap umat (komunitas agama) telah kami berikan aturan yang jelas (syir’at) dan jalan yang terang (minhâj)” (QS. Al-Ma’idah [5]: 48). Serta pernyataan Al-Quran bahwa “Pada tiap-tiap umat telah kami tetapkan cara-cara ibadat yang mereka lakukan. Karena itu, janganlah kamu bertengkar mengenai soal ini, tetapi ajaklah mereka kepada (agama) Tuhanmu karena engkau berada dalam jalan yang benar. Tetapi jika mereka membantahmu, maka katakanlah Tuhan paling mengetahui apa yang kalian lakukan. Ia akan memutuskan bagimu pada hari kebangkitan mengenai soal-soal yang kalian perselisihkan” (QS. al-Hajj [22]: 67-69).

Kedua, keanekaragaman relasi Tuhan disebabkan oleh keanekaragaman keadaan (states, hâl). Ibnu ‘Arabi, mengibaratkan perbedaan relasi-relasi Tuhan dengan para nabi-Nya di atas, seperti perbedaan relasi Tuhan dengan seorang yang sakit dan relasi Tuhan dengan seorang yang lapar atau tenggelam. Seorang yang dalam keadaan sakit, ia akan berdo’a “wahai Yang Maha Pemberi Obat” atau “wahai yang Maha Pemberi Sembuh”. Seorang yang dalam keadaan lapar, ia akan berdo’a “wahai Yang Maha Penyedia Makan (yâ Razzâq). Sedang seorang yang dalam keadaan tenggelam, ia akan menyeru “wahai Yang Maha Penolong (Penyelamat). Karena itu, relasi Tuhan akan beranekaragam sesuai dengan keanekaragaman keadaan makhluk-Nya. Demikian pula, relasi Tuhan kepada Muhammad Saw. berbeda dengan relasi Tuhan kepada Musa, Isa dan nabi-nabi yang lainnya, karena keanegaraman keadaan masyarakat pada setiap masa kenabian. Inilah yang dimaksudkan dengan pernyataan Al-Quran “Dia Allah pada setiap saat (masa) berada dalam kesibukan-Nya. Kami akan menyelesaikan (urusan) dengan kamu—wahai manusia dan jin” (QS. al-Rahman [55]: 29-31).

Ketiga, keanekaragaman keadaan disebabkan oleh keanekaragaman masa-waktu atau musim (times, al-waqt). Keadaan pada saat musim semi berbeda dengan keadaan pada saat musim panas. Keadaan pada saat musim panas berbeda dengan keadaan pada saat musim gugur. Keadaan pada saat musim gugur berbeda dengan keadaan pada saat musim dingin. Demikian pula, keadaan pada saat musim dingin berbeda dengan keadaan pada saat musim semi. Sebagaimana musim mempengaruhi terhadap keadaan tumbuhan, maka demikian pula, musim akan mempengaruhi keadaan tubuh. Dengan demikian, keanekaragaman masa-waktu menyebabkan keanekaragaman keadaan.

Keempat, keanekaragaman masa-waktu (musim) disebabkan oleh keanekaragaman gerakan benda-benda angkasa (movement, harâkat al-aflâq). Gerakan yang dimaksudkan di sini adalah gerakan dari benda-benda angkasa, di mana gerakan-gerakan tersebut memunculkan siang-malam dan menentukan keberlangsungan tahun, bulan dan musim yang semua itu menggambarkan (melukiskan) keanekaragaman waktu atau masa.
Kelima, keanekaragaman gerakan disebabkan oleh keanekaragaman arah atau perhatian Tuhan (attentivenesses, tawjihat al-Ilâhiyat). Menurut Ibnu ‘Arabi, seandainya perhatian Tuhan terhadap pergerakan benda-benda angkasa tersebut sama, maka pergerakan benda-benda angkasa tidak akan menjadi beranekaragam. Padahal (kenyataannya) terjadi keanekaragaman gerakan. Hal ini membuktikan bahwa arah perhatian Tuhan terhadap gerakan bulan yang beredar pada porosnya, berbeda dengan arah perhatian Tuhan terhadap pergerakan matahari dan gerakan-gerakan planet yang lainnya. Dalam Al-Quran dinyatakan bahwa “masing-masing beredar pada porosnya” (QS. al-Anbiya [21]: 33).

Keenam, keanekaragaman arah perhatian Tuhan disebabkan oleh keanekaragaman tujuan (goals, al-qashd). Seandainya tujuan perhatian Tuhan terhadap gerakan bulan sama dengan tujuan perhatian Tuhan terhadap gerakan matahari, maka tidak akan dapat dibedakan antara satu efek (atsar) dengan efek yang lainnya. Padahal tidak diragukan lagi bahwa efek itu beranekaragam. Ibnu ‘Arabi mengibaratkan bahwa perhatian Tuhan dalam menerima Zaed secara ridha, akan berbeda dengan perhatian Tuhan dalam menerima ‘Amr secara murka. Perbedaan tersebut, karena tujuan Tuhan untuk memberi hukuman (kesengsaraan) kepada Amr, dan tujuan Tuhan untuk memberikan kebahagiaan kepada Zaed. Karena itu, tujuan menjadi penyebab keaneragaman perhatian.

Ketujuh, keanekaragaman tujuan disebabkan oleh keanekaragaman penampakan-diri Tuhan (self disclousures, tajliyat al-Ilâhiyat). Menurut Ibnu ‘Arabi, kemahaluasan Tuhan tidak menuntut sesuatu pengulangan dalam eksistensi (wujud), dan karenanya penampakan diri Tuhan pun terjadi secara beragam (bukan berulang). Sebab, seandainya penampakan-diri Tuhan bentuknya sama (berulang) dalam seluruh wujud, maka yang ada adalah kesamaan. Akan tetapi, keanekaragaman tujuan adalah hal yang niscaya atau estasblished (telah ditetapkan). Dengan demikian, setiap tujuan tertentu pasti memiliki penampakan diri tertentu pula yang berbeda dari setiap penampakan diri yang lain. Syaikh Abu Thalib al-Maky seperti dikutip oleh Ibnu ‘Arabi menyatakan bahwa “Allah SWT tidak akan pernah menampakan diri-Nya dalam bentuk yang sama kepada dua individu dan juga tidak akan pernah menampakan dalam dua bentuk yang sama kepada satu individu”. Hal tersebut, membuktikan kenapa terjadi efek yang beragam dalam alam, sebagaimana bentuk keridhaan dan kemurkaan di atas.

Kedelapan (terakhir), keanekaragaman penampakan disebabkan oleh keanekaragaman syari’at atau agama (revealed religion). Setiap syari’at (agama) adalah jalan menuju Tuhan, dan jalan-jalan tersebut, berbeda-beda (beranekaragam). Maka penampakan Tuhan pasti menjadi beranekaragam sebagaimana beranekaragamnya pemberian Tuhan. Lagi pula, pandangan manusia terhadap syari’at, juga berbeda-beda. Maka setiap mujtahid akan memiliki pandangan hukum (syari’at) tertentu sebagai jalannya menuju Tuhan yang berbeda dengan pandangan hukum (syari’at) mujtahid lainnya. Perbedaan inilah yang menyebabkan kenapa madzhab-madzhab hukum menjadi beranekaragam. Jadi penampakan diri Tuhan berbeda-beda (beranekaragam), karena perbedaan atau keanekaragaman syari’at (agama). Sedang keanekaragaman syari’at sebagaimana telah dikemukakan disebabkan oleh keanekaragaman relasi-relasi Tuhan (Ibnu ‘Arabi, Futuhât Al-Makiyyât, Beirut: Dar Shadr tt., juz. 1, h. 265-266; William C. Chittick, Imaginal Worlds Ibnu ‘‘Arabi and the Problem of Religion Diversity, State University of New York Press, Al-Bany, 1994, h. 157-160; dan Nasr Hamid Abu Zayd, Falsafat al-Ta’wil: Dirasat fi Ta’wil al-Qur’ân ‘inda Muhyiddin Ibnu ‘‘Arabi, Beirut: Markaz Ats-Tsaqafi al-Araby, 1996, h. 407-408).

Dengan demikian, jelas bahwa Tuhan pun menyukai keanekaragaman. Dalam bahasa Tuhan sendiri “Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah dalam berbuat kebajikan” (QS. al-Maidah [5]: 48). Menurut para ulama dan pakar bahasa, haraf lau (لو) adalah harf al-imtina’ li al-imtina’ (tercegah terjadinya jawab karena tercegahnya syarat). Sebuah huruf yang banyak digunakan untuk suatu pengandaian sesuatu yang tak terbukti atau mengandung arti kemustahilan (M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran, Tasir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat, Bandung: Mizan, 1997, h. 336). Karena itu, penggalan teks di atas secara tegas menunjukan bahwa keanekaragaman umat beragama merupakan suatu yang memang menjadi tujuan dan kehendak Tuhan dalam ciptaan-Nya.

Tujuan dan kehendak penciptaan yang beranekaragam ini, sebagaimana terangkai dalam teks di atas, dimaksudkan agar setiap komumitas ummat beragama melakukan kompetisi dalam kebaikan dan dalam kekaryaan yang saleh (fastabiq al-khairât). Fastabiq al-khairât atau kompetisi dalam kebaikan dan amal saleh ini, merupakan prinsip ajaran ketuhanan yang penting dalam hubungan sosial antar kaum beriman (A Qur’anic principle of interfaith relations). Oleh karena itu, perbedaan di antara ummat beragama haruslah merupakan suatu kesempatan untuk berkompetisi dalam amal saleh, bukan kesempatan untuk perbuatan-perbuatan fanatik yang membawa kepada permusuhan di antara penganut iman dari agama yang berbeda.

Tidak ada komentar: