Kamis, 30 September 2010

HERMENEUTIKA KEBINEKAAN

Oleh : Hendar Riyadi


Salah satu tantangan teologis kaum beriman (ummat beragama) dalam konteks kebhinekaan agama-agama (religious plurality) adalah bagaimana mendefinisikan identitas keagamaan sendiri di tengah-tengah lingkungannya. Ada banyak problem teologis dalam mendefinisikan identitas suatu agama di tengah lingkungan yang plural-religius. Diantaranya adalah problem teologis yang disebut oleh Hugh Goddard sebagai cara pandang keagamaan standar ganda (double standards), yaitu menilai identitas agama sendiri dengan standar idealitas normatif-teks keagamaan (kitab suci), sementara menilai agama lain berdasarkan realitas historis-kritis.

Menurut Arthur J. D’Adamo, setiap teks-keagamaan selalu mengklaim sebagai yang lebih konsisten dan penuh dengan kebenaran—tanpa kesalahan sama sekali; lengkap dan final—sehingga tidak ada, dan tidak membutuhkan lagi agama lain; mengklaim sebagai satu-satunya jalan keselamatan, pencerahan dan pembebasan; serta mengklaim sebagai yang memiliki kebenaran paling otentik bersumber dari Tuhan. Oleh karena itu, jika idealitas normatif-teks keagamaan tersebut dijadikan standar penilaian untuk mendefinisikan suatu agama, maka seluruh agama akan mengklaim sebagai yang paling konsisten dan penuh dengan kebenaran, lengkap dan final, satu-satunya jalan keselamatan, pencerahan dan pembebasan, serta mengklaim sebagai yang paling otentik bersumber dari Tuhan.

Berbeda dengan penilaian suatu agama yang didasarkan pada historis-kritis yang selalu mengandaikan adanya reduksi, distorsi dan penyimpangan iman serta doktrin ajarannya. Sebab ketika suatu agama memasuki wilayah historis-empiris (menyejarah), maka agama tidak akan dapat menghindar dari konstruksi nalar manusia sesuai dengan lokalitas budaya, kepentingan politik dan idiologis serta perkembangan peradaban zamannya. Sehingga ketika paradigma historis-kritis tersebut dijadikan dasar bagi standar penilaian suatu agama, maka hipotesisnya akan berbalik bahwa agama lain tidak konsisten, penuh dengan kesalahan, tidak lengkap dan tidak final serta bukan berasal dari Tuhan, melainkan hanya produk konstruksi nalar manusia (human reason construction) atau mungkin bersumber dari Tuhan, tetapi dalam pembentukan iman dan doktrin ajarannya dalam sejarah, telah mengalami banyak distorsi, penyimpangan dan pengrusakan.

Implikasi teologis dari cara pandang keagamaan double standards tersebut adalah munculnya sikap klaim kebenaran (truth claim) dari setiap penganut agama, bahwa agamanyalah yang paling sejati (terbenar) serta satu-satunya jalan keselamatan, pembebasan dan pencerahan, sementara agama lain adalah salah—atau dalam bahasa agama—merupakan “agama yang tidak mendapat perkenan (ridha) Tuhan atau jalan kesesatan (kafir)”. Suatu cara pandang teologis yang disebut oleh Ninian Smart sebagai cara pandang keagamaan ekslusivisme absolut (absoluty exluvism). Pandangan teologis ekslusivisme absolut inilah yang selama ini mendasari hampir seluruh konstruksi dan formasi nalar keagamaan, baik nalar epistemologis, nalar etika maupun nalar politik keagamaannya. Melalui nalar epistemologi keagamaan, lahir karya-karya tafsir, kompilasi doktrin dan keputusan-keputusan hukum (fatwa) keagamaan yang membenci orang lain agama (the religious other). Dalam nalar etika, terutama yang berdimensi social-ethics (etika sosial), cara pandang teologis tersebut, memberikan implikasi etis dalam hubungan sosial antar ummat beragama, berupa perlakuan tidak adil, diskriminatif dan ketidakramahan terhadap orang yang berbeda agama. Sementara dalam nalar politik-keagamaannya, orientasi dan produksi kekuasaan selalu di arahkan untuk hegemoni terhadap penganutan agama lain.

Dalam perkembangannya, nalar epistemologi kebencian, nalar etika ketidakramahan dan nalar politik keagamaan hegemonistik ini, menjadi doktrin ajaran yang taken for granted (diterima apa adanya) dan terus-menerus ditransmisikan dari generasi ke generasi hingga membentuk suatu tradisi keagamaan yang membenci agama lain. Tradisi keagamaan-kebencian inilah yang selama ini menjadi akar kekerasan dalam agama, konflik sosial-politik, kerusuhan, pembunuhan bahkan perpecahan dan peperangan atas nama Tuhan dalam lingkungan internal ummat beragama (intra-religius) dan terlebih di lingkungan antar ummat beragama. Hal ini berdampak pada hubungan sosial antar ummat beragama yang tidak harmonis, saling “mencurigai” serta munculnya berbagai ketegangan psikologis, sosiologis, politis, kultural, dan bahkan benturan peradaban (clash civilization), seperti fenomena aktual yang terjadi dewasa ini antara Islam dan Barat (Kristen). Tradisi keagamaan ini juga yang selama berabad-abad telah banyak meminta korban jiwa, keluarga dan kehormatan, serta meninggalkan berbagai bentuk tragedi kemanusiaan.

Problem Metodologis dalam Penafsiran Teks Kitab Suci
Persoalannya adalah mengapa terjadi di dalam dan di tengah-tengah kaum beriman (ummat beragama)? Jawaban hipotesisnya adalah akan kembali kepada teks-teks kitab suci dan tradisi agama bersangkutan yang menjadi sumber otentik dan rujukan keagamaannya. Sebab yang menjadi akar dari segala persoalan di atas adalah kembali kepada masalah penafsiran teks kitab suci. Dalam kerangka ini, setidaknya terdapat beberapa kemungkinan kenapa problem teologis dalam mendefinisikan identitas suatu agama di tengah-tengah kebhinekaan agama-agama (religious plurality) ini, melahirkan sikap ekslusivisme absolut dan menjadi sumber ketidakadilan, diskriminatif dan ketidakramahan. Kemungkinan pertama, komunitas agama (religious community) tertentu salah dalam menerapkan tafsir otentik teks kitab sucinya. Artinya, mungkin penafsirannya otentik dan benar, tetapi dalam penerapannya salah (misalnya, karena masuknya kepentingan politik, ekonomi, kelompok, golongan atau organisasi dalam implementasinya). Kemungkinan kedua, komunitas agama tertentu tidak otentik dan salah dalam menafsirkan teks kitab sucinya.

Kemungkinan kedua ini dikarenakan beberapa alasan, yaitu (1) teks kitab suci sendiri mengandung ambiguitas pemahaman (di satu sisi banyak memuat teks-teks yang mengajarkan kedamaian dan keramahan kepada orang lain agama, tetapi, di sisi lain, memuat teks-teks yang memerintahkan perang atas nama Tuhan dan larangan pertemanan serta “teks-teks yang membenci” orang lain agama. Begitu juga, di sejumlah tempat, banyak memuat teks-teks toleran dan inklusif dalam bearagama, tetapi di tempat yang lainnya, memuat teks-teks yang seringkali mengarah kepada sikap ekslusive dan intoleran); (2) adanya stigma sejarah akibat terjadinya peristiwa benturan politik-keagamaan (religio-politik), serta tradisi keagamaan kebencian yang memberikan bias dalam penafsiran; dan (3) karena ketidakmemadaian metodologis dalam menafsirkan teks kitab sucinya.

Pada tahap sejarah tertentu, teks-teks ambigu di atas cenderung dibaca dalam perspektif (metodologi) domain keimanan dan sektarian, sehingga bukan saja secara teologis melahirkan monopoli kebenaran dan nikmat keselamatan eskatologis (di akhirat) bagi kelompoknya, melainkan juga secara sosiologis melahirkan peminggiran (marginalitas) kaum bariman lainnya yang berbeda. Oleh karena itu, kekerasan dan konflik antar ummat beragama serta sikap “saling curiga”, tidak ramah, intoleran, ekslusif dan bahkan perang atas nama Tuhan sebagaimana digambarkan di atas, tidak dapat dihindarkan.

Hermeneutika Kebhinekaan
Dalam kerangka memahami teks-teks yang cenderung ambiguitas inilah, maka diperlukan pembacaan hermeneutis baru yang lebih inklusif, ramah dan membebaskan. Pembacaan hermeneutika kebhinekaan yang ditawarkan di sini adalah melalui empat tahap eksplanasi, yaitu hermeneutika kecurigaan (hermeneutics of suspicion), hermeneutika pemulihan kembali (hermeneutics of retrieval) atau hermeneutika permakluman (hermeneutics of proclamation), hermeneutika pengenangan (hermeneutics of remembrance) atau rekonstruksi historis dan pendekatan hermeneutika perwujudan kreatif (hermeneutics of creative actualization).

Melalui pendekatan hermeneutika kebhinekan ini, pertama-tama teks kitab suci (Al-Quran) tentang kebhikaan (pluralisme) agama, dibaca dengan sikap kritis melalui hermeneutika kecurigaan (hermeneutics of suspicion). Hermeneutika ini bertolak dari dua fakta, yaitu pertama, bahwa Al-Quran diturunkan dalam konteks kebhinekaan agama dan pertentangan religio-idiologis antara Islam dengan Yahudi dan Kristen (nashrani). Pertentangan religio-idiologis tersebut memberikan kesadaran akan keragaman agama-agama dan menjadi masalah teologis terpenting bagi Muhammad Saw. Dalam konteks ini, Al-Quran dimungkinkan banyak memuat teks-teks yang dipahami cenderung membenci dan tidak ramah terhadap orang lain agama (penganut agama Yahudi dan Kristen). Misalnya, QS. al-Baqarah [2]: 120; al-Maidah [5]: 51; Ali Imran [3]: 28 dan 118; al-Nisa’ [4]: 144; al-Taubah [9]: 5, 29 dan 36.

Kedua, fakta adanya tradisi tafsir kebencian dan tidak ramah terhadap orang lain agama yang ditransmisikan dari generasi ke generasi hingga sekarang. Kedua fakta tersebut, harus dibaca dengan sikap “curiga” agar tidak tertipu oleh sistem tanda atau struktur gramatika bahasa yang ada dipermukaan, sehingga mengaburkan makna yang lebih obyektif (spirit teksnya). Selain itu, hermeneutika kecurigaan juga akan menghindarkan penafsir, dari kemungkinan penyalahgunaan penafsiran akibat tradisi kebencian dan ketidakramahan, sehingga dapat memunculkan ide pembebasan, inklusivitas dan toleransi dari teks yang dianggap dan dipahami membenci dan tidak ramah tersebut.

Langkah kedua adalah membaca, memaknai dan menafsirkan teks Kitab Suci tentang kebhinekaan agama melalui hermeneutika pemulihan kembali (hermeneutics of retrieval) atau hermeneutika permakluman (hermeneutics of proclamation). Melalui pembacaan hermeneutika pemulihan ini, teks yang cenderung tidak ramah harus dipahami dan diberi penjelasan yang seimbang. Sebaliknya, teks yang mengandung ide pembebasan, inklusivitas, keramahan, toleransi dan kesetaraan kaum beriman (teks plural), perlu mendapat perhatian dan penjelasan lebih besar. Tujuannya adalah mengungkapkan ide-ide pluralisme Al-Quran dalam membangun kesetaraan kaum beriman, keadilan, perdamaian dan keutuhan lingkungan.

Langkah ketiga adalah rekonstruksi historis atau pembacaan teks melalui pendekatan hermeneutika pengenangan (hermeneutics of remembrance). Hermeneutika ini, tidak menghapus teks-teks yang tidak ramah atau yang membenci agama lain, tetapi memahaminya dalam konsteks historis sebagai suatu perjuangan melawan ketidakadilan. Jadi, hermeneutika pengenangan berusaha merekonstruksi teks yang tidak ramah menjadi suatu pola baru dalam perwujudan etika kebinekaan, keadilan dan kesetaraan.

Langkah keempat adalah pembacaan hermeneutika perwujudan kreatif (hermeneutics of creative actualization). Tujuan hermeneutika ini adalah mengangkat peran-peran (tokoh teladan) yang pluralis dalam teks Kitab Suci untuk aktualisasi teks-teks ramah dan inklusif pada masa sekarang.

Melalui empat langkah pembacaan hermeneutis di atas, diharapkan dapat meletakkan arah baru bagi hermeneutika kebhinekaan yang inklusif dan membebaskan, serta memberikan sumbangan bagi pengembangan teologi agama-agama (teologia religionum) yang berwawasan kedamaian, kerahmatan, egalitarian dan berkeadilan.

"DAN TUHAN PUN MENYUKAI KERAGAMAN"

Oleh : Hendar Riyadi


Dalam kehidupan keseharian, kita menyaksikan banyak bentuk keanekaragaman. Baik dalam makanan, minuman, buah-buahan, tumbuhan, gunung, bebatuan, binatang, maupun keanekaragaman manusia itu sendiri. Kalau kita masuk ke salah satu rumah makan atau pergi ke pasar misalnya, maka kita akan mendapatkan beraneka ragam lauk-pauk dan sayur-sayuran. Ada goreng ayam, ikan, pindang, udang, telur, tahu, tempe dll. Ada sayur kangkung, bayam, wortol, kacang, terong, daun pepaya, daun singkong, seladah dan yang lainnya. Selain aneka ragam makanan, kita juga menjumpai aneka ragam minuman. Ada sprite, fanta, teh botol, coca cola, jus jeruk, alpukat, tomat, dan aneka ragam minuman yang lainnya. Kita juga mendapati aneka ragam buah-buahan seperti jeruk, apel, pepaya, melon, semangka, rambutan, anggur, dukuh, lengkeng, serta aneka ragam buah-buahan yang lainnya. Sementara, kalau kita rekreasi ke kebun binatang, maka di sana kita mendapati beraneka ragam binatang seperti gajah, unta, sapi, kerbau, ular, monyet, buaya, harimau, jerapah, dan aneka ragam binatang lainnya. Semua itu, menunjukan realitas keanekaragaman dalam hal makanan, minuman, buah¬-buahan, tumbuhan dan binatang.

Keanekaragaman yang sama juga terjadi pada manusia. Alam manusia seperti yang kita saksikan mempunyai beraneka ragam budaya (multikultural), mencakup keanekaragaman tradisi dan adat kebiasaan, bahasa, etnis, ras, serta keanekaragaman agama dan kepercayaan. Di Indonesia misalnya, terdapat beraneka ragam bahasa, tradisi dan adat kebiasaan, serta etnis dan suku bangsa. Ada Sunda, Jawa, Madura, Bali, Batak, Aceh, Padang, Bugis, Nias, serta aneka ragam etnis yang lainnya, seperti Sasak dan Bima. Bangsa Indonesia juga mempunyai keanekaragaman agama seperti Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Budha, konghucu dan berbagai kepercayaan lainnya. Beberapa daerah diantaranya mempunyai identitas agama tersendiri yang biasanya dikaitkan dengan etnis tertentu. Misalnya, Aceh Muslim, Flores Katholik, Bali Hindu dan sebagainya. Identitas (kepemilikan pada kelompok sosial tertentu) tersebut, memberikan stabilitas sosial, status (harga diri, martabat, dan kebanggaan), serta pandangan hidup, cara berpikir, dan etos tertentu yang membedakannya dengan identitas lainnya.
Dalam spektrum yang lebih luas, kita juga menyaksikan keanekaragaman budaya, etnik, ras, bahasa dan agama, terjadi diberbagai negara di dunia, seperti di Amerika, Belanda, Inggris, Perancis, India dan negara-negara lainnya. Setiap negara memiliki identitas kebudayaan masing-masing sesuai dengan cara pandang terhadap dunianya. Hal ini menunjukan bahwa keanekaragaman budaya, bahasa, etnis dan agama, merupakan fakta alamiah yang berlaku umum, universal. Dalam bahasa antropologi seperti disebutkan Emile Durkeim, bahwa segala sesuatu di alam ini terpecah dan terbagi menjadi kategori-kategori yang kompleks atau mengandung multiformitas (beraneka ragam bentuk) yang tidak mungkin dapat diseragamkan dan dijadikan satu bentuk tunggal. Menurut Durkheim kategorisasi-kategorisasi itulah menjadikan keteraturan dalam kehidupan manusia (Achmad Fedyani Saifuddin, Antropologi Kontemporer, Suatu Pengantar Kritis Mengenai Paradigma, Jakarta: Prenada Media, 2005, hal. 5.). Kategori-kategori ini, sekali lagi, menunjukan realitas akan suatu bentuk keanekaragaman atau multiformitas alam. Tesis ini sejalan dengan pernyataan Al-Quran bahwa Allah menundukan apa yang diciptakan untuk manusia di bumi dengan beraneka ragam macamnya (QS. Al-Nahl/16: 13).

Oleh Karena itu, sudah dapat dipastikan bahwa gagasan keseragaman (hamogenitas) atau penunggalan budaya (monokultural), akan mendapat penolakan dan perlawanan. Bentuk penyeragaman atau penunggalan budaya (monokultural), baik oleh negara maju atas negara berkembang (melalui globalisasi) atau oleh negara atas masyarakat sipil (berupa kebijakan penyeragaman) dan atau oleh suatu komunitas mayoritas atas komunitas minoritas (dalam bentuk pemaksaan keyakinan) adalah bertentangan dan melawan fakta alamiah tersebut. Kenyataan ini meniscayakan untuk menjadikan hidup dalam perbedaan sebagai pilihan yang tidak bisa ditawar-tawar.

Berkaitan dengan keanekaragaman agama atau syari’at, Syaikh al-Akbar Ibnu ‘Arabi, dalam karya the magnum oppus-nya, Futûhât al-Makiyat, menjelaskan secara baik bagaimana lingkaran keanekaraman itu terjadi. Pertama, menurut Ibnu ‘Arabi, keanekaragaman syari’at (religious diversity) disebakan oleh keanekaragaman relasi Tuhan (devine relationships, nasab al-Ilâhiyat). Tuhan sebagai wujud yang memiliki kehendak selalu melakukan hubungan (relasi) atau komunikasi dengan para nabi-Nya pada setiap masa dalam menyampaikan kehendak (wahyu) atau syari’at-Nya. Relasi Tuhan dengan seorang nabi, berbeda dengan relasi Tuhan kepada nabi-nabi yang lainnya. Karena itu, syari’at yang disampaikan oleh setiap nabi pun berbeda-beda (beranekaragam). Misalnya, syari’at Nabi Muhammad berbeda dengan syari’at Nabi Isa, Musa dan syari’at nabi-nabi yang lainnya. Itulah menurut Ibnu ‘Arabi yang dimaksudkan dengan pernyatan Al-Quran bahwa ”Setiap umat (komunitas agama) telah kami berikan aturan yang jelas (syir’at) dan jalan yang terang (minhâj)” (QS. Al-Ma’idah [5]: 48). Serta pernyataan Al-Quran bahwa “Pada tiap-tiap umat telah kami tetapkan cara-cara ibadat yang mereka lakukan. Karena itu, janganlah kamu bertengkar mengenai soal ini, tetapi ajaklah mereka kepada (agama) Tuhanmu karena engkau berada dalam jalan yang benar. Tetapi jika mereka membantahmu, maka katakanlah Tuhan paling mengetahui apa yang kalian lakukan. Ia akan memutuskan bagimu pada hari kebangkitan mengenai soal-soal yang kalian perselisihkan” (QS. al-Hajj [22]: 67-69).

Kedua, keanekaragaman relasi Tuhan disebabkan oleh keanekaragaman keadaan (states, hâl). Ibnu ‘Arabi, mengibaratkan perbedaan relasi-relasi Tuhan dengan para nabi-Nya di atas, seperti perbedaan relasi Tuhan dengan seorang yang sakit dan relasi Tuhan dengan seorang yang lapar atau tenggelam. Seorang yang dalam keadaan sakit, ia akan berdo’a “wahai Yang Maha Pemberi Obat” atau “wahai yang Maha Pemberi Sembuh”. Seorang yang dalam keadaan lapar, ia akan berdo’a “wahai Yang Maha Penyedia Makan (yâ Razzâq). Sedang seorang yang dalam keadaan tenggelam, ia akan menyeru “wahai Yang Maha Penolong (Penyelamat). Karena itu, relasi Tuhan akan beranekaragam sesuai dengan keanekaragaman keadaan makhluk-Nya. Demikian pula, relasi Tuhan kepada Muhammad Saw. berbeda dengan relasi Tuhan kepada Musa, Isa dan nabi-nabi yang lainnya, karena keanegaraman keadaan masyarakat pada setiap masa kenabian. Inilah yang dimaksudkan dengan pernyataan Al-Quran “Dia Allah pada setiap saat (masa) berada dalam kesibukan-Nya. Kami akan menyelesaikan (urusan) dengan kamu—wahai manusia dan jin” (QS. al-Rahman [55]: 29-31).

Ketiga, keanekaragaman keadaan disebabkan oleh keanekaragaman masa-waktu atau musim (times, al-waqt). Keadaan pada saat musim semi berbeda dengan keadaan pada saat musim panas. Keadaan pada saat musim panas berbeda dengan keadaan pada saat musim gugur. Keadaan pada saat musim gugur berbeda dengan keadaan pada saat musim dingin. Demikian pula, keadaan pada saat musim dingin berbeda dengan keadaan pada saat musim semi. Sebagaimana musim mempengaruhi terhadap keadaan tumbuhan, maka demikian pula, musim akan mempengaruhi keadaan tubuh. Dengan demikian, keanekaragaman masa-waktu menyebabkan keanekaragaman keadaan.

Keempat, keanekaragaman masa-waktu (musim) disebabkan oleh keanekaragaman gerakan benda-benda angkasa (movement, harâkat al-aflâq). Gerakan yang dimaksudkan di sini adalah gerakan dari benda-benda angkasa, di mana gerakan-gerakan tersebut memunculkan siang-malam dan menentukan keberlangsungan tahun, bulan dan musim yang semua itu menggambarkan (melukiskan) keanekaragaman waktu atau masa.
Kelima, keanekaragaman gerakan disebabkan oleh keanekaragaman arah atau perhatian Tuhan (attentivenesses, tawjihat al-Ilâhiyat). Menurut Ibnu ‘Arabi, seandainya perhatian Tuhan terhadap pergerakan benda-benda angkasa tersebut sama, maka pergerakan benda-benda angkasa tidak akan menjadi beranekaragam. Padahal (kenyataannya) terjadi keanekaragaman gerakan. Hal ini membuktikan bahwa arah perhatian Tuhan terhadap gerakan bulan yang beredar pada porosnya, berbeda dengan arah perhatian Tuhan terhadap pergerakan matahari dan gerakan-gerakan planet yang lainnya. Dalam Al-Quran dinyatakan bahwa “masing-masing beredar pada porosnya” (QS. al-Anbiya [21]: 33).

Keenam, keanekaragaman arah perhatian Tuhan disebabkan oleh keanekaragaman tujuan (goals, al-qashd). Seandainya tujuan perhatian Tuhan terhadap gerakan bulan sama dengan tujuan perhatian Tuhan terhadap gerakan matahari, maka tidak akan dapat dibedakan antara satu efek (atsar) dengan efek yang lainnya. Padahal tidak diragukan lagi bahwa efek itu beranekaragam. Ibnu ‘Arabi mengibaratkan bahwa perhatian Tuhan dalam menerima Zaed secara ridha, akan berbeda dengan perhatian Tuhan dalam menerima ‘Amr secara murka. Perbedaan tersebut, karena tujuan Tuhan untuk memberi hukuman (kesengsaraan) kepada Amr, dan tujuan Tuhan untuk memberikan kebahagiaan kepada Zaed. Karena itu, tujuan menjadi penyebab keaneragaman perhatian.

Ketujuh, keanekaragaman tujuan disebabkan oleh keanekaragaman penampakan-diri Tuhan (self disclousures, tajliyat al-Ilâhiyat). Menurut Ibnu ‘Arabi, kemahaluasan Tuhan tidak menuntut sesuatu pengulangan dalam eksistensi (wujud), dan karenanya penampakan diri Tuhan pun terjadi secara beragam (bukan berulang). Sebab, seandainya penampakan-diri Tuhan bentuknya sama (berulang) dalam seluruh wujud, maka yang ada adalah kesamaan. Akan tetapi, keanekaragaman tujuan adalah hal yang niscaya atau estasblished (telah ditetapkan). Dengan demikian, setiap tujuan tertentu pasti memiliki penampakan diri tertentu pula yang berbeda dari setiap penampakan diri yang lain. Syaikh Abu Thalib al-Maky seperti dikutip oleh Ibnu ‘Arabi menyatakan bahwa “Allah SWT tidak akan pernah menampakan diri-Nya dalam bentuk yang sama kepada dua individu dan juga tidak akan pernah menampakan dalam dua bentuk yang sama kepada satu individu”. Hal tersebut, membuktikan kenapa terjadi efek yang beragam dalam alam, sebagaimana bentuk keridhaan dan kemurkaan di atas.

Kedelapan (terakhir), keanekaragaman penampakan disebabkan oleh keanekaragaman syari’at atau agama (revealed religion). Setiap syari’at (agama) adalah jalan menuju Tuhan, dan jalan-jalan tersebut, berbeda-beda (beranekaragam). Maka penampakan Tuhan pasti menjadi beranekaragam sebagaimana beranekaragamnya pemberian Tuhan. Lagi pula, pandangan manusia terhadap syari’at, juga berbeda-beda. Maka setiap mujtahid akan memiliki pandangan hukum (syari’at) tertentu sebagai jalannya menuju Tuhan yang berbeda dengan pandangan hukum (syari’at) mujtahid lainnya. Perbedaan inilah yang menyebabkan kenapa madzhab-madzhab hukum menjadi beranekaragam. Jadi penampakan diri Tuhan berbeda-beda (beranekaragam), karena perbedaan atau keanekaragaman syari’at (agama). Sedang keanekaragaman syari’at sebagaimana telah dikemukakan disebabkan oleh keanekaragaman relasi-relasi Tuhan (Ibnu ‘Arabi, Futuhât Al-Makiyyât, Beirut: Dar Shadr tt., juz. 1, h. 265-266; William C. Chittick, Imaginal Worlds Ibnu ‘‘Arabi and the Problem of Religion Diversity, State University of New York Press, Al-Bany, 1994, h. 157-160; dan Nasr Hamid Abu Zayd, Falsafat al-Ta’wil: Dirasat fi Ta’wil al-Qur’ân ‘inda Muhyiddin Ibnu ‘‘Arabi, Beirut: Markaz Ats-Tsaqafi al-Araby, 1996, h. 407-408).

Dengan demikian, jelas bahwa Tuhan pun menyukai keanekaragaman. Dalam bahasa Tuhan sendiri “Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah dalam berbuat kebajikan” (QS. al-Maidah [5]: 48). Menurut para ulama dan pakar bahasa, haraf lau (لو) adalah harf al-imtina’ li al-imtina’ (tercegah terjadinya jawab karena tercegahnya syarat). Sebuah huruf yang banyak digunakan untuk suatu pengandaian sesuatu yang tak terbukti atau mengandung arti kemustahilan (M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran, Tasir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat, Bandung: Mizan, 1997, h. 336). Karena itu, penggalan teks di atas secara tegas menunjukan bahwa keanekaragaman umat beragama merupakan suatu yang memang menjadi tujuan dan kehendak Tuhan dalam ciptaan-Nya.

Tujuan dan kehendak penciptaan yang beranekaragam ini, sebagaimana terangkai dalam teks di atas, dimaksudkan agar setiap komumitas ummat beragama melakukan kompetisi dalam kebaikan dan dalam kekaryaan yang saleh (fastabiq al-khairât). Fastabiq al-khairât atau kompetisi dalam kebaikan dan amal saleh ini, merupakan prinsip ajaran ketuhanan yang penting dalam hubungan sosial antar kaum beriman (A Qur’anic principle of interfaith relations). Oleh karena itu, perbedaan di antara ummat beragama haruslah merupakan suatu kesempatan untuk berkompetisi dalam amal saleh, bukan kesempatan untuk perbuatan-perbuatan fanatik yang membawa kepada permusuhan di antara penganut iman dari agama yang berbeda.

TOLERANSI, MENGHARGAI PLURALISME

Oleh Hendar Riyadi


Toleransi adalah sikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan kelakuan dan sebagainya) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1997: 1066). Dalam tradisi keagamaan Islam, istilah toleransi ini masih relatif baru dan dipahami secara berbeda. Bahkan sebagaimana dikemukakan oleh Abdullah Ahmed al-Naim, sebagian besar masyarakat Islam menolak konsep toleransi ini dan menyatakan bahwa ayat-ayat yang mendukung ke arah konsep atau teologi toleransi ini telah dihapus (dimansukh) oleh ayat Al-Quran tentang jihad. Menurut mereka, ayat jihad yang banyak tersebar pada surat al-Taubah, turunnya lebih akhir dari ayat-ayat yang mendukug ke arah toleransi. Di samping itu, mereka yang mendukung toleransi, juga masih setengah-setengah dalam menjalankannya (melakukan toleransi terbatas dan bersyarat), sebagaimana yang terjadi pada masa-masa awal Islam dan berlangsung hingga sekarang (Abdullahi Ahmed al-Naim, Mohammed Arkoun dkk., 1996: 29). Sehingga tidak heran jika kalangan orientalis dan Barat pada umumnya banyak melihat Islam sebagai anti toleransi, anti hak asasi manusia (HAM), dan belakangan Islam dituduh sebagai “sarang” teroris.

Menurut Mohammed Arkoun, kecenderungan di atas sebagai akibat serius dari pengabaian terhadap aksioma-aksioma dasar yang mengakibatkan tidak adanya pemahaman apapun tentang Islam dan bahkan tentang toleransi itu sendiri (Mohammed Arkoun, 1999: 204). Oleh karena itu, perlu adanya pembacaan terhadap konsep-konsep dasar aksiomatis Al-Quran, khususnya yang berkaitan dengan teks-teks yang mendukung dan kemungkinan menjalankan gagasan toleransi penuh. Hal ini dimaksudkan untuk dapat merekonstruksi dan mereaktualisasi gagasan Islam sebagai rahmatan li al-‘alamîn dalam dimensi yang lebih luas.

Secara umum, akar-akar toleransi yang dirujuk dari teks kitab suci Al-Quran, dapat rumuskan dalam beberapa prinsip berikut: yaitu pertama, prinsip bahwa perbedaan (keragaman) keyakinan itu adalah kehendak Allah (sunnat Allâh) yang bersipat perennial. Al-Quran menyatakan bahwa “Sekiranya Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan kamu satu ummat (saja), akan tetapi Allah hendak menguji kamu tentang apa yang telah diberikan-Nya kepadamu, oleh karena itu, maka berlomba-lombalah dalam berbuat kebajikan” (QS. al-Maidah [5]: 48). Ayat ini menunjukan bahwa keragaman (pluralisme) merupakan suatu yang memang menjadi tujuan Tuhan dalam ciptaannya. Beberapa ayat lain yang senada dan secara eksplisit mendukung prinsip ini, diantaranya adalah QS. al-An’am [6]: 35; an-Nahl [16]: 93; al-Syura [42]: 8; Yunus [10]: 99 dan Hud [11]: 118. Oleh karena itu, paksaan untuk masuk kepada suatu keyakinan tertentu adalah bertentangan dengan semangat pluralisme atau keragaman (QS. al-Baqarah [2]: 256).

Kedua, prinsip bahwa pengadilan dan hukuman bagi keyakinan yang salah harus diserahkan kepada Allah sendiri. Tuhan lebih tahu siapa yang menyimpang dari jalan-Nya dan siapa yang mendapat petunjuk (QS. An-Nahl [16]: 125). Allah yang akan menjelaskan perbedaan dan perselisihan itu di hari kiamat (QS. al-Maidah [5]: 48). Prinsip pengadilan dan hukuman milik Allah ini, berkait erat dengan prinsip pertama tentang kehendak Allah akan keragaman. Pemahaman terhadap teks Al-Quran surat al-Ma’idah [5]: 48 menunjukkan bahwa kehendak keragaman syari’at dan minhâj dimaksudkan agar dapat diketahui kualitas amal saleh yang terbaik di antara keragaman itu. Dan dalam bagian akhir teks tersebut, Al-Quran menyatakan bahwa (penilaian) semuanya akan dikembalikan kepada Allah, dan Allah akan menjelaskan perbedaan-perbedaan yang diperselisihkan.

Prinsip bahwa pengadilan dan hukuman itu hanya milik Allah saja, menegaskan bahwa siapa pun di dunia ini, tidak memiliki otoritas sedikit pun untuk menilai serta menghukumi orang lain yang berbeda pemahaman, agama dan keyakinan, apalagi dengan mengatasnamakan Tuhan (QS. al-Baqarah [2]: 272). Dan karena itu, prinsip ini juga memberikan wawasan toleransi dan semangat keagamaan yang lapang untuk mengakui dan menerima eksistensi keyakinan yang berbeda. Semangat keagamaan yang toleran—atau dalam bahasa agamanya al-hanîfiyat al-samhah—inilah, yang digambarkan oleh Nabi sebagai bentuk keagamaan yang paling dihargai Allah.

“Ibnu Abbas menuturkan bahwa Nabi Saw. pernah ditanya, “Agama mana yang paling dicintai Allah?” Nabi menjawab, “Semangat keagamaan yang toleran (al-hanîfiyat al-samhah)” (Hadits Riwayat Imam Ahmad).

“‘Aisyah menuturkan bahwa Rasulullah Saw. pernah berkata, “Hari ini pastilah kaum Yahudi tahu bahwa dalam agama kita ada kelapangan. Sesungguhnya aku ini diutus dengan semangat keagamaan yang toleran (al-hanîfiyat al-samhah)” (Hadits Riwayat Imam Ahmad).

Menurut Roy P. Mottahedeh, pernyataan di atas menunjuk pada sebuah bukti lain mengenai pandangan signifikan dalam tradisi Islam awal yang berpendirian bahwa semua ummat manusia mempunyai “agama alamiah”, yakni melekat dengan “fitrah” spiritual dan moral yang ditiupkan Allah ke dalam jiwa mereka, yang atas dasar fitrah itulah kita harus mengasumsikan kebaikan fitrah sesama manusia (Abdullahi Ahmed al-Naim, Mohammed Arkoun dkk., 1996: 36). Pandangan ini membawa kepada prinsip yang ketiga, dan prinsip inilah yang mengakar paling kuat dalam pengembangan wawasan teologi toleransi, yaitu keyakinan kepada sebuah agama fitrah. Teks Al-Quran yang secara eksplisit merujuk kepada prinsip ini adalah ayat 30 dari surat al-Rum [30]: “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada (Agama) Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”.
Meski mayoritas kaum muslimin memahami arti fitrah dalam teks di atas sebagai agama Islam, tetapi kata fitrah juga—sebagaimana pandangan minoritas kaum muslimin—dapat bermakna “agama asal-mula ummat manusia, yang melekat, dan di capkan secara tak terhapuskan pada jiwa semua manusia” (Abdullahi Ahmed al-Naim, Mohammed Arkoun dkk., 1996: 37). Ini berarti bahwa setiap manusia (penganut agama) terikat dalam suatu persaudaraan keagamaan universal. Karena masing-masing agama lahir dari dan didasarkan kepada suatu sumber yang sama, yaitu agama Allah yang tertanam dalam diri-diri manusia berupa din al-fitrat (agama asal mula manusia). Dengan demikian, menurut Isma’il Raji al-Faruqi, keyakinan kepada agama fitrah ini, merupakan suatu terobosan paling penting ke arah pembinaan hubungan antarummat beragama (MT PPI, 2001: 46-47).

Prinsip keempat, dalam rangka membangun teologi toleransi adalah sikap saling menghormati antar kaum beriman. Di antara ayat Al-Quran yang menunjukan sikap saling menghormati tersebut adalah QS. al-An’am [6]: 108: “Dan janganlah kamu memaki sesembahan yang mereka sembah selain Allah karena mereka nanti akan memaki Allah secara melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah kami jadikan masing-masing ummat menganggap indah perbuatan mereka. Kemudian kepada Tuhan tempat kembali mereka, lalu Dia memberitahukan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan”.
Ayat di atas, memberikan pemahaman bahwa setiap penganutan agama telah menjadi sunnatullah akan menganggap baik apa yang dikerjakannya dalam agama mereka. Sehingga apabila ada yang mencaci, maka segera akan membalik memaki secara berlebihan. Oleh karena itu, memaki pekerjaan suatu penganutan agama yang mereka pandang baik, merupakan sikap yang tidak menghormati keyakinan agamanya sendiri.
Prinsip menghormati pemahaman atau penganutan agama yang beragam ini, sangat ditekankan dalam Islam karena dipandang sama dengan menghormati agama sendiri. Sebaliknya, mencaci agama lain sama dengan mencaci agama sendiri.
Prinsip saling menghormati antarumat beragama ini, lebih diperkuat lagi dengan banyaknya teks Al-Quran yang menunjukan anjuran untuk saling menolong atau kerjasama dalam menyuruh kebaikan, menegakkan amar makruf dan nahy munkar baik secara individual maupun komunal yang tidak terikat oleh perbedaan keyakinan, warna kulit, jenis kelamin atau yang lainnya.

Sekalipun perlu dicatat bahwa banyak teks Al-Quran yang menimbulkan pemahaman (doktrin) ketidakbolehan melakukan pertemanan, persahabatan atau kerjasama dengan kalangan non muslim bahkan ada perintah untuk memerangi mereka. Di antara teks yang menunjukkan hal itu adalah QS. Ali Imran [3]: 28, 118; al-Nisa [4]: 89, 91, 139, 144; al-Ma’idah [5]: 51, 57; al-Taubah [9]: 23; al-Mumtahanah [60]: 1; dan al-Baqarah [2]: 191. Tetapi harus diingat bahwa ayat-ayat di atas memerlukan pendekatan secara kontekstual dalam memahaminya.

Menurut Rasyid Ridha ayat-ayat di atas merupakan penegasan larangan mengadakan hubungan pertemanan dengan orang-orang non muslim karena sikap permusuhan dan pernyataan perang mereka, bukan karena perbedaan agama itu sendiri. Rasyid Ridha mengutif keterangan Ibnu al-Qayyim bahwa pada saat Nabi datang ke Madinah, kalangan non muslim terpecah menjadi beberapa golongan. Setelah Nabi mengadakan perdamaian dengan orang-orang Yahudi (yang terdiri dari Bani Qainuqa, Bani Nadhir dan Bani Quraidhah) serta menandatangani suatu dokumen keamanan, Bani Qainuqa setelah perang Badar kemudian memerangi Nabi serta menunjukan sikap jahat dan dengki. Sementara Bani Nadhir melanggar perjanjian serta Bani Quraidhah menunjukkan permusuhan yang keras terhadap Nabi dan melanggar perjanjian ketika terlibat dalam perang khandaq. Menurut Rasyid Ridha, konteks inilah yang merupakan sebab semua larangan mengadakan hubungan pertemanan dengan kalangan Ahlul Kitab, Kristen Arab dan Romawi serta kalangan yang menyatakan perang kepada Nabi (Rasyid Ridha, 1999: 351).

Dengan demikian, prinsip saling menolong, kerjasama dan mengadakan hubungan pertemanan, masih tetap menjadi sikap keutamaan moral universal selama yang diajak kerjasama tidak memperlihatkan permusuhan, kekerasan, penindasan, pengusiran dan perang. Prinsip ini berlaku tidak hanya sekedar dalam hubungannya dengan kalangan non muslim, tetapi bahkan juga dengan kalangan seagama sekalipun.
Di samping itu, banyak lagi teks Al-Quran mengenai prinsip koeksistensi damai yang mendukung wawasan teologi toleransi di atas. Ayat Al-Quran yang banyak dikutif dalam rangka menjelaskan prinsip koeksistensi damai ini adalah QS. al-Mumtahanah [60]: 8-9 dan al-Anfal [8]: 61. Dalam Islam, prinsip koeksistensi damai ini merupakan prinsip dasar hubungan antar manusia sesuai dengan arti generik dari kata islam itu sendiri, yakni damai. Oleh karena itu, menerima Islam sebagai agama, konsekwensinya menerima koeksistensi damai ini sebagai pokok ajarannya (MT PPI, 2001: 45).

Kelima (terakhir) adalah prinsip keadilan dan persamaan. Teks Al-Quran yang berbicara mengenai prinsip ini adalah QS. al-Nisa’ [4]: 130; al-Ma’idah [5]: 8; al-Nahl [16]: 9 dan al-Hadid [57]: 25. Dalam Islam, prinsip keadilan ini bersifat umum sehingga berlaku juga dalam hubungan antarumat beragama. Menurut Sayid Quthub, keadilan (adl) ini merupakan dasar persamaan sebagai asas kemanusiaan yang dimiliki oleh setiap orang. Keadilan baginya bersifat inklusif, tidak ekslusif untuk golongan tertentu (J. Suyuthi Pulungan, Prinsip-prinsip Pemerintahan dalam Piagama Madinah Ditinjau dari Pandangan Al-Quran, (Jakarta, 1996: 225). Oleh karena itu, menurut Ibnu al-‘Arabi, ketika menafsirkan teks Al-Quran surat al-Mumtahanah [60]: 8, berlaku adil itu wajib, sekalipun terhadap orang-orang kafir (baik yang memerangi maupun yang tidak) (M. Quraish Shihab, 1997: 118).

Dalam beberapa tempat, Al-Quran juga memerintahkan untuk berlaku adil terhadap setiap kelompok, baik terhadap diri sendiri, keluarga maupun terhadap kaum kerabat (QS. al-Nisa’ [4]: 135). Bahkan Al-Quran juga memerintahkan untuk berlaku adil kepada musuh dan tidak menjadikan kebencian sebagai penghalang untuk berlaku adil (QS. al-Maidah [5]: 8). Ide atau prinsip keadilan inilah yang juga menjadi pesan dasar keagamaan seluruh Rasul sebagaimana dinyatakan oleh Al-Quran dalam surat al-hadid [57]: 25. Hal ini menunjukan inklusivitas dan universalitas keadilan yang berlaku untuk semua kaum atau komunitas, baik komunitas agama maupun komunitas non-agama, intraumat maupun antarumat beragama. Dalam konteks hubungan sosial antarummat beragama, ide keadilan ini merupakan prinsip dasar untuk memperlakukan orang-lain-agama secara sama, adil dan tidak diskriminatif, baik dalam pengelolaan sumberdaya ekonomi, politik, sosial-budaya dan pendidikan, maupun dalam penetapan hukum.

Semangat adil inilah yang pernah dicontohkan oleh Muhammad Saw., sebagaimana yang terjadi dalam kasus Zaid bin Samîn, seorang Yahudi yang dituduh mencuri baju besi. Dalam kasus tersebut, seorang laki-laki dari Bani Zhafar, Tu’mah bin Abîraq mencuri baju besi dari tetangganya, Qatadah bin Nu’man. Kemudian dia menyembunyikannya di rumah seorang Yahudi yang bernama Zaid bin Samîn. Pada saat dicuri, baju besi itu tersimpan di kontong tepung, sehingga bekas-bekasnya berceceran. Ketika diselidiki, bekas ceceran tepung tersebut, sampai di rumahnya Tu’mah, tetapi ketika ditanyakan Tu’mah mengelak, padahal dia mengetahuinya. Kemudian, penyelidikan dilanjutkan sampai ke rumah seorang Yahudi yang bernama Zaid, dan baju besi itupun ditemukan. Lalu, orang-orang dari kalangan Bani Zhafar, kaum dari Tu’mah, melontarkan tuduhan pencurian kepada Yahudi tersebut, dan melaporkannya kepada Nabi. Menerima laporan seperti itu, lalu Nabi bermaksud menghukumi orang Yahudi tersebut. Tetapi, ketika Tuhan memberitahukan mengenai peristiwa sebenarnya, dengan menurunkan ayat 105-113 dari surat al-Nisa, Nabi kemudian membebaskannya (Al-Zamakhsyari, 1995: 550).