Minggu, 09 Mei 2010

BERPIKIR BAYANI, BURHANI DAN IRFANI

Oleh : Hendar Riyadi


Tradisi nalar Islam memperkenalkan tiga cara berpikir, yaitu bayâni, burhâni dan irfâni. Cara berpikir bayâni menitikberatkan pada pendekatan analisis kebahasaan (tekstual) atas nash-nash keagamaan (nushûsh al-dîniyat). Asumsinya adalah bahwa nash-nash keagamaan (Al-Quran dan Hadits) sepenuhnya tertulis dalam bentuk bahasa (teks), yaitu teks berbahasa Arab. Dalam studi teori interpretasi kontemporer, sebuah teks (nash), baik teks profan maupun teks suci (sacra) termasuk teks Al-Quran, dipandang memiliki “eksistensi otonom” atau otonomi semantik. Artinya, teks itu dapat “berbicara sendiri”, mengungkapkan makna dan kandungan isinya melalui sistem tanda yang dimiliki, terutama struktur bahasanya. Oleh karena itu, setiap pembaca atau penafsir dapat mengartikan dan menafsirkan teks tersebut, melalui pemahaman terhadap struktur bahasanya. Dalam konteks ini dapat dikatakan bahwa satu-satunya medium untuk menyingkap makna dan memahami nash-nash keagamaan adalah sistem tanda yang ada dalam struktur bahasa itu sendiri. Karena itu, cara berpikir bayâni dengan pendekatan analisis kebahasaan merupakan instrumen hermeneutis yang sangat penting.

Mengenai instrumen hermeneutis (analisis kebahasaan) yang satu ini, para ulama telah merumuskannya dengannya sangat kaya, mulai dari kaidah ketercakupan makna lafadz seperti ‘am-khash dan mutlaq-muqayyad; kaidah penggunaan lafadz seperti haqiqi-majazi dan sharih-kinayah, kaidah penunjukan lafadz terhadap makna seperti zhahir-khafi, nash-musykil, mujmal-mufassar dan muhkam-mutasyabih, hingga kaidah penunjukan makna seperti yang dirumuskan ulama hanafiah, yaitu dalalah al-ibarah, dalalah al-isyarah, dalalah al-dilalah dan dalalah al-iqtidha, dan ulama Syafi’iyah, yaitu kaidah manthuq-mafhum. Konsep-konsep tersebut hampir telah disepakati menjadi instrumen hermeneutis (metodis) tunggal atas pemahaman nash-nash keagamaan (nushush al-diniyah) (Syaikh Khalid Abdur Rahman al-'Ak, 1986: 127, 321-371).

Meski demikian, menggunakan cara berpikir bayâni yang berangkat dari analisis kebahasaan (atas sistem tanda-struktur bahasa) saja, tidaklah cukup. Sebab, sebuah teks hadir di dalam ruang dan waktu yang kongkrit. Al-Quran dan hadist misalnya, hadir dalam situasi sosial dan budaya Arab pada abad ke-7. Asumsi ini menegaskan bahwa Al-Quran selalu terlibat dalam hubungan timbal balik (mengalami interaksi dialektis) dengan budaya setempat dimana Al-Quran hadir (diturunkan). Adanya proses tadrîj al-wahy (gradualisme pewahyuan) dan asbâb al-nuzûl (sebab turunnya ayat), membuktikan keniscayaan dialektis dan interaksi dinamis tersebut (Nashr Hamid Abu Zaed, 2005: ). Menurut Kenneth Cragg (1971: 17), Al-Quran tak mungkin menjadi wahyu jika tidak terkait dengan berbagai peristiwa. Dalam bahasa Richard C. Martin, Al-Quran tidak akan bermakna ‘sesuatu’ jika berada di luar konteks sosial-budaya.

Keterlibatan hubungan dialektis tersebut dapat melahirkan kemungkinan-kemungkinan dan keniscayaan berikut. Pertama, nash-nash Al-Quran sangat dimungkinkan dan meniscayakan berisi jawaban atau respons terhadap masalah-masalah aktual dalam masyarakat. Hal ini misalnya dapat dilihat dari jawaban Al-Quran mengenai beberapa masalah yang diajukan para sahabat Nabi dan masyarakat Arab. Misalnya, pertanyaan mengenai bulan sabit (QS. Al-Baqarah [2]: 189), kekayaan yang harus dermakan ((QS. Al-Baqarah [2]: 215), perang di bulan Haram ((QS. Al-Baqarah [2]: 217), khamr dan judi ((QS. Al-Baqarah [2]: 219), masalah anak yatim (QS. Al-Baqarah [2]: 220), darah haid ((QS. Al-Baqarah [2]: 222), pekerjaan yang dibolehkan (QS. Al-Maidah [5]: 4), hari kiamat (QS. Al-A’raf [7]: 187; al-Nazi’at [79]: 42), harta rampasan perang (QS. Al-Anfal [8]: 1), tentang ruh (QS. Al-Isra [17]: 85), Dzil Qarnain (QS. Al-Kahfi [18]: 83), masalah gunung-gunung (QS. Thaha [20]: 105), serta sejumlah pertanyaan dan pernyataan Al-Quran lainnya.

Kedua, nash-nash Al-Quran, sangat dimungkinkan memuat konsep-konsep (doktrin, etik, aturan legal) yang telah dikenal oleh masyarakat Arab, meski kemudian diintegrasikan ke dalam pandangan dunianya, sehingga menjadi konsep-konsep yang otentik Al-Quran (Kuntowijoyo, 1992 : 328). Contoh tentang hal ini, ditulis secara baik oleh Toshihiko Izutsu dalam karyanya Konsep-konsep Etika Religius dalam Quran. Menurut Izutsu, istilah karim “كريم” (murah hati) merupakan suatu istilah kunci dalam kosa kata jahiliyah yang berarti kemuliaan garis keturunan yang berkait erat dengan kedermawanan yang luar biasa. Istilah karim ini diangkat oleh Al-Quran, kemudian diintegrasikan dengan pandangan dunianya tentang taqwa (QS. al-Hujurat [49] : 13) sehingga menjadi konsep Al-Quran yang otentik. Dalam konsep Al-Quran, istilah karim digeser dari konsep garis keturunan dan kedermawanan menjadi konsep karim dalam ketaqwaan. Contoh yang lain dikemukakan oleh Izutsu seperti dalam bagian tulisannya tentang Islamisasi Kebijakan Arab Kuno, misalnya tentang keberanian, kesetiaan, kejujuran dan kesabaran (Toshihiko Izutsu, 1993 : 3).

Kemungkinan-kemungkinan di atas, memperkuat asumsi bahwa sebuah teks, termasuk nash Al-Quran, bukan semata sebagai himpunan huruf-huruf atau sistem-sistem tanda yang mati atau hampa budaya. Teks atau nash keagamaan (Al-Quran) sesungguhnya lebih merupakan bentuk kristalisasi linguistik dari realitas (Kazuo Simogaki, 1994 : 52). Artinya, teks atau nash Al-Quran tidak semata memuat huruf-huruf atau sistem-sistem tanda kebahasaan, melainkan memuat pikiran-pikiran (kognisi), praktik sosial, dan ideologi saat teks tersebut hadir atau 'diproduksi'. Studi akademik tentang hal ini secara luas dapat dipelajari dalam teori analisis wacana seperti yang dikembangkan oleh Teun A. van Dijk, Fairclough, Ruth Wodak, Roger Fowler, Robert Hodge, Gunther Kress dan Tony Trew. Diantara hasil studi Teun A. van Dijk menyimpulkan bahwa faktor kognisi sosial merupakan elemen penting dalam produksi wacana (pemakaian bahasa, baik dalam tuturan maupun tulisan). Fairclough dan Ruth Wodak, menyimpulkan bahwa wacana (pemakaian bahasa dalam tuturan dan tulisan) merupakan bentuk dari praktik sosial. Sementara studi Roger Fowler, Robert Hodge, Gunther Kress dan Tony Trew menyimpulkan bahwa ideologi dan kekuasaan adalah bagian yang selalu hadir ketika pilihan sintaksis atau gramatikal diambil. Hal senada dikemukan juga oleh Fairclough bahwa dalam suatu teks selalu terkandung idiologi, baik yang tampil secara nyata maupun tersembunyi. Ideologi tersebut, termanifes dalam pemakaian kosa kata, kalimat dan tata bahasa tertentu (Eryanto, 2000: 7-8, 134 dan 287). Studi ini memperkuat kajian semantik Toshihiko Izutsu di atas. Istilah "karim" misalnya, memuat pikiran, praktik dan ideologi sosial masyarakat Jahiliyah yang menonjolkan sifat kedermawanan. Namun, Al-Quran merubahnya dengan memperkenalkan ideologi atau pandangan dunia (worldview) baru yang menekankan sifat ketaqwaan.

Oleh karena itu, untuk memahami nash keagamaan (Al-Quran), diperlukan cara berpikir atau pendekatan lain yang lebih bersifat terbuka, kritis dan kontekstual. Dalam hal ini, cara berpikir atau pendekatan burhâni dan irfâni dapat dimanfaatkan. Cara berpikir burhâni adalah cara berpikir saintifik, yaitu dengan menggabungkan antara analisis rasional-filosofis dan analisis konteks empiris (historis, sosio-antropologis dan politis-ideologis). Melalui pendekatan burhâni ini kita tidak hanya dapat mengungkapkan konteks kesejarahan dari suatu risalah keagamaan, tetapi juga dapat mengungkap akar pemikiran, nilai-nilai spiritualitas, kandungan filosofis, dan local wisdom (kearifan lokal)nya serta visi pencerahan dan kritik sosialnya. Dalam perspektif berpikir burhani ini, beberapa pendekatan dalam tradisi keilmuan sosial (antropologi, sosiologi, sejarah) dan humaniora (filsafat, hermeneutik, sastra) dapat dimanfaatkan. Sementara melalui pendekatan irfâni (penerapan analisis esoterik-intuitif), diharapkan dapat menangkap makna haqîqat atau makna terdalam di balik teks dan konteks. Jika asumsi dasar atau paradigma bayani lebih melihat teks sebagai sebuah fenomena kebahasaan, sementara paradigma burhâni lebih melihat teks sebagai suatu yang berkaitan dengan konteks, maka paradigma irfâni, lebih melihat teks sebagai sebuah simbol dan isyarat (al-ramziyat wa al-îmâ`) yang menuntut pembacaan dan penggalian makna terdalam (bathin) dari simbol-simbol dan isyarat-isyarat tersebut dengan melibatkan kecerdasan emosional, kecerdasan sosial dan kecerdasan spiritual.

Ketiga pendekatan di atas, saling berkait-erat antara satu dengan yang lainnya dan membentuk hubungan dialogis-melingkar (sirkuler-dialektis): memahami teks (bayâni), tidak dapat dipisahkan dari pemahaman konteksnya (burhâni); pemahaman konteks (burhani), tidak dapat terlepas dari pemahaman teks itu sendiri (bayâni); sementara pemahaman makna terdalam (irfâni), membutuhkan pemahaman teks dan kontek sekaligus. Berdasar ketiga pendekatan ini, maka diharapkan problem agama dan kehidupan, mendapat penjelasan secara komprehensif, baik normativitas, historisitas maupun spiritualitas terdalamnya, sehingga dapat dijadikan basis kebijakan aktual dalam pengembangan strategi kebudayaan dan pembangunan.

Selama ini, cara berpikir kita masih didominasi oleh cara berpikir bayâni dengan peradaban fiqih yang sangat rigid (cara pandang syari’ah oriented). Cara berpikir ini, antara lain bercirikan: pertama, cenderung memegang teguh literal kitab suci dan mengurangi—untuk tidak menyatakan tidak menerima—proses ijtihad nalar. Kedua, cenderung lebih banyak berpegang pada aturan secara legal-formal dan mengabaikan moralitas agama. Ketiga, cenderung lebih banyak menggunakan pendekatan otoritatif, sehingga tidak sembarang orang dibolehkan menafsirkan Kitab Suci. Keempat, cenderung lebih menjungjung tinggi ideal-moral agama tanpa banyak mempertimbangkan perkembangan masyarakat dan nalar zaman. Kelima, cenderung lebih banyak berpegang pada pendapat ulama zaman lampau dan terkadang memaksakan untuk diterima pada zaman sekarang yang berbeda. Keenam, cenderung meniadakan keragaman pendapat. Cara berpikir bayâni selalu bersifat oposisi biner atau penilaian hitam putih.

Akibatnya, keagamaan kita menjadi tertutup dari temuan ijtihad-ijtihad baru yang bersumber dari nalar atau peradaban akal hari ini. Keagamaan kita masih belum selesai dalam memecahkan ketegangan antara nalar dogmatis teologis dengan nalar ilmiah. Kita selalu mempertentangkan antara agama dan HAM, pluralisme, liberalisme, demokrasi dan sejumlah isu lainnya, tanpa banyak membangun wacana baru keagamaan yang konstruktif, dialogis dan transformatif. Wacana keagamaan kita malah berkutat pada isu-isu teologis dogmatis yang sama sekali tidak mendorong kepada perubahan dan kemajuan sosial, kemanusiaan maupun peradaban. Oleh karena itu, dalam pengembangan cara berikir keagamaan perlu mempertimbangkan cara berpikir burhani dan irfani. Cara berpikir burhani dan irfani ini, antara lain, bercirikan: pertama, mempertimbangkan atau tidak mengenyampingkan proses ijtihad nalar. Kedua, mempertimbangkan aspek moralitas agama, disamping legal formal. Ketiga, mempertimbangkan perkembangan masyarakat dan nalar zaman. Keempat, mempertimbangkan temuan-temuan peradaban kontemporer. Kelima, mempertimbangkan keragaman pemahaman. Allahu A’lam.

Jumat, 07 Mei 2010

BERPIKIR MULTIKULTURAL

Oleh : Hendar Riyadi


Multikulturalisme tidak ekslusif Amerika. Multikulturalisme telah muncul sebagai sebuah isu kebijakan publik di Belanda, Inggris, Kanada, dan beberapa negara lain. Namun demikian, multikulturalisme muncul sebagai gelombang kedua dari gerakan hak-hak sipil yang membentuk masyarakat Amerika selama tahun 1950-an dan tahun 1960-an. Teori multikulturalisme ini berkembang sebagai kelanjutan dari teori feminisme dan postmodernisme (George Ritzer, 2005: 322-326). Menurut Ben Agger, multikulturalisme adalah versi paling politis dari gerakan pemikiran postmodernisme Amerika. Ada beberapa teori postmodernisme yang dikembangkan dalam konsep multikulturalisme, yaitu antara lain, konsep penolakan atas narasi besar dan esensialisme. Teori lain yang dikembangkan oleh multikulturalisme adalah terori perbedaan (difference) Jacques Derrida dan teori tubuh Michael Foucault.

Secara konsep, multikulturalisme merupakan cara berpikir atau faham tentang banyak budaya. Dalam tradisi sosiologis, multikulturalisme ini didefinisikan sebagai gerakan sosial intelektual yang mempromosikan dan memperjuangkan nilai-nilai keanekaragaman sebagai suatu prinsip dasar (Rosemarie Putnam Tong, tt.: 312). Secara sederhana, multikulturalisme diperkenalkan sebagai cara berpikir yang mendukung keanekaragaman. Multikulturalisme menuntut semua kelompok kebudayaan harus diperlakukan secara setara, dengan penuh penghargaan dan penghormatan. Multikulturalisme mengajak semua orang untuk menghormati keanekaragaman budaya, agama, komunitas etnik dan kelompok¬-kelompok lainnya dalam masyarakat.

Berbeda dengan pandangan teologis yang lebih menekankan pemahaman atas keanekaragaman dari sisi benar atau salah menurut (akidah) agama, multikulturalisme lebih mendekatinya dari perspektif (antropologi) kebudayaan. Dengan kata lain, multikulturalisme tidak memahami keanekaragaman dari segi bahwa semua budaya, etnik, bahasa dan agama memiliki kebenaran yang sama, melainkan memahaminya dari aspek penghormatan kepada kemanusiaan, bahwa setiap manusia adalah setara. Karena itu, multikulturalisme mengajak semua orang untuk menghormati dan mengakui pihak lain yang berbeda secara budaya, etnik, bahasa dan agama sebagai sama-sama manusia—bukan karena kebenaran atau keunggulan budaya, etnik, bahasa dan agama tertentu.

Pandangan multikulturalisme di atas, didasarkan pada gagasan kesetaraan martabat (dignity) manusia seperti yang dikembangkan oleh Jacques Rousseau dan Immanuel Kant. Baik Rosse maupun Kant, sama-sama memandang bahwa hakikat dasar manusia adalah sama. Harkat dan martabat manusia adalah setara tanpa kecuali, atas dasar bahwa ia tercipta dengan karakter kemanusiaan asasi yang sama. Pemikiran tentang kesetaraan (equlity) harkat kemanusiaan ini, setidaknya mengandung tiga bentuk pemaknaan, yaitu pertama, keyakinan bahwa manusia adalah setara secara sosial dan politik. Keyakinan ini berpijak pada alasan bahwa manusia sebagai individu memiliki kesamaan karakter asasi, khususnya dalam hal rasio, jiwa, dan rasa moral. Kedua, pandangan bahwa setiap orang harus diperlakukan dengan pertimbangan dan perhatian yang sama dalam menerima perlakuan hukum dan kesempatan untuk pemenuhan kebutuhan manusiawi. Ketiga, kesetaraan harkat martabat kemanusiaan mengandung makna tidak dibenarkan bersikap diskriminatif terhadap semua orang berdasarkan ras, agama, jenis kelamin, status, kekayaan, kepintaran, kemampuan fisik dan lain-¬lain.

Gagasan di atas, sejalan dengan visi kesetaraan (equalitas) dalam Islam. Menurut Al-Thabari (1995: 399), ketika menafsirkan teks “inna akramakum ‘inda al-Allâhi atqâkum” (QS. Al-Hujurat [49]: 13), mengemukakan bahwa yang termulia di antara kamu dihadapan Tuhan adalah orang yang paling giat dalam menjalankan perintah Tuhannya dan menghindari segala larangan-Nya, bukan orang yang memiliki keluarga termulia dan kerabat terbanyak. Al-Thabari kemudian mengutif hadits bahwa “Manusia adalah keturunan Adam dan Hawa, seakan-akan mereka keluar dari satu cetakan (ka thaf al-sha’lam yamla’ûhu). Pada hari kiamat, Tuhan tidak akan bertanya tentang jasad dan keturunanmu, orang termulia di antara kamu dihadapan Tuhan adalah yang paling taqwâ.
Penjelasan al-Thabari ini menunjukan tidak ada perbedaan antara manusia. Semua manusia adalah setara, hanya ketaqwaannyalah yang membedakan kualitas kemanusiaannya. Senada dengan al-Thabari, Thabaththaba’i (tt.: 330), menyebutkan bahwa teks QS. Al-Hurat [49: 13) di atas menunjukkan secara mutlak tidak adanya keutamaan kelas (thabaqat) antara putih dan hitam, orang Arab dan azam atau non Arab (pribumi dan non pribumi), antara kaya dan miskin, merdeka dan budak (hamba sahaya) serta laki-laki dan perempuan. Pemahaman ini, sejalan dengan pernyataan Nabi dalam sabdanya: “Wahai manusia, ingatlah sesungguhnya Tuhan kamu satu dan bapak kamu satu. Ingatlah tidak ada keutamaan orang Arab atas orang bukan Arab, orang hitam atas orang berwarna, orang berwarna atas orang hitam, kecuali karena taqwâ-nya” (HR. Ahmad).

Berpijak pada pemikiran tentang kesetaraan harkat martabat manusia di atas, multikulturalisme memandang bahwa setiap manusia memiliki kedudukan yang setara dan hak-hak yang sama dalam mengekspresikan dan mengembangkan kebudayaanya, sesuai dengan keyakinan, pilihan etos dan etis, serta pandangan dunianya. Karena itu, multikulturalisme mengajak semua individu untuk menghormati dan memelihara eksistensi sesamanya tanpa kecuali, selama individu tersebut memenuhi kriteria karakter asasi kemanusiannya. Multikulturalisme menolak segala bentuk perlakuan berbeda (discrimination) atas dalih apapun, baik karena alasan ras, agama, jenis kelamin, status, kekayaan, kepintaran, maupun kemampuan fisik dan sebagainya. Atas dasar ini, multikulturalisme memberikan perhatian utama pada empat tema besar masalah keanekaragaman, yaitu pertama, masalah pemeliharaan identitas kelampok; kedua, masalah distribusi kekuasaan dalam masyarakat diskriminatif; ketiga, peran masyarakat marginal; dan keempat, masalah toleransi dalam konteks keanekaragaman budaya dan agama.

Berpikir multikultural berarti menjadikan hidup dalam perbedaan sebagai pilihan yang tidak bisa ditawar-tawar. Setiap komunitas dalam masyarakat selalu memiliki identitas, baik berupa keyakinan, kepercayaan, pandangan hidup maupun tradisinya masing-masing. Identitas ini memberikan stabilitas sosial serta status harga diri, martabat, dan kebanggaan terhadap setiap kelompok sosial tersebut. Oleh karena itu, jika identitas ini terganggu atau tidak dihormati, maka status sosial, stabilitas dan keberadaan pemeluknya akan terancam. Apabila status sosial, stabilitas dan keberadaannya terancam, maka ketegangan, perpecahan dan konflik tidak akan dapat dihindarkan. Inilah salah satu masalah utama yang dihadapai masyarakat multikultural. Jika kebinekaan atau keanekaragaman budaya tersebut tidak dibina secara baik, kondusif dan konstruktif, maka akan terjadi berbagai ketegangan psikologis, sosial, politik dan bahkan benturan peradaban. Konflik yang terjadi antara Israel dengan Palestina, Amerika dengan Irak, Rusia dengan Chechnya serta Bosnia dengan Serbia, merupakan contoh tidak terbinanya realitas kemajemukan budaya di tingkat antarbangsa.

Di Indonesia sendiri, ketegangan antara kaum Muslim dan kaum Kristiani di beberapa daerah yang potensial terjadinya konflik seperti Ambon, ketegangan antara suku Dayak dan Madura di Sampit, serta ketegangan antara Pribumi dan Tionhoa di berbagai kota, masih menjadi ancaman dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Selain itu, kerawanan akan terjadinya konflik di kalangan intraumat beragama dan beberapa paguyuban budaya, juga masih menyimpan persoalan tersendiri dalam konteks masyarakat yang plural secara budaya, etnik dan agama. Kasus ketegangan antara kalangan mayoritas kaum Muslim yang diwakili MUI dengan aliran Ahmadiyah, Lia Aminudin dan Paguyuban Mahesa serta ketegangan antara organisasi keagamaan seperti Muhammadiyah-NU-Persis-¬FPI-Hijbu Tahrir di beberapa daerah, memberikan kesadaran yang mendalam akan rawannya konflik di tingkat intratumat beragama.

Mengingat kecenderungan di atas, maka berpikir multikultural mungkin sangat relevan untuk dipertimbangkan. Berpikir multikultural mungkin dapat dipertimbangkan sebagai alternatif dalam penciptaan keharmonisan budaya, integrasi nasional, sekaligus pengembangan demokrasi dalam masyarakat yang plural-religius dan plural-kultural, seperti di Indonesia.

Sabtu, 01 Mei 2010

KEARIFAN DALAM BERAGAMA

Oleh : Hendar Riyadi


“Agama adalah sebuah alat atau kendaraan untuk mendekati kebenaran. Bagi mereka yang berfikir dangkal, alat selalu menjadi tujuan dan kendaraan menjadi berhala. Hanya orang-orang yang bijak, bukan orang yang beragama atau berpengetahuan yang dapat membuat kendaraan itu bergerak lagi”(Farid al-din Attar)


Dalam konstruksi pemikiran keagamaan keislaman, baik klasik maupun kontemporer, kita sering menyaksikan upaya pengsakralan agama (taqdis al-diny) atau mungkin lebih tepatnya pensakralan pemikiran keagamaan (taqdîs afkâr al-dînî) sebagai hasil produk penafsiran atas wahyu melebihi pengsakralan wahyu itu sendiri. Agama dipandang seolah-olah kehendak atau keridhaan Tuhan. Padahal siapa yang dapat menjamin bahwa agamanya (pemahaman dan interpretasi atas wahyu) sesuai dengan kehendak dan keridhaan-Nya. Jika pada tingkat mode of knowing ada semacam klaim kebenaran (truth claim) atas agama (pemahaman teks wahyu), maka pada tingkat aksional klaim kebenaran tersebut termanifestasi dalam bentuk aksi saling menyalahkan, kekerasan fisik, hingga saling mengkafirkan seolah-olah surga itu monopoli milik sendiri atau kelompoknya, sementara orang atau kelompok lain tidak berhak mendapatkannya. Bahkan yang lebih tragis lagi adalah adanya aksi atas nama agama atau Tuhan (seolah-olah mendapat legitimasi dan ridha Tuhan), mereka saling mencaci, menyerang dan membunuh sesamanya. Kecenderungan demikian jelas bukan saja akan menghambat perkembangan demokrasi, kebebasan dan kedewasaan dalam beragama, tapi juga secara sosiologis akan melonggarkan sendi-sendi perekat ummat serta mengancam eksistensi kemanusiaan dan kelangsungan kehidupan keagamaan itu sendiri.

Ungkapan Farid al-din Attar di atas menegaskan bahwa agama bukanlah merupakan suatu tujuan, melainkan hanyalah sebuah alat atau kendaraan untuk mencapai tujuan, yaitu perkenan (ridha) Tuhan. Karena itu, nama lain dari agama adalah syari’at, yakni jalan menuju sumber mata air. Jadi agama (syari’at) hanyalah sebuah jalan (alat atau kendaraan) untuk sampai kepada sumber mata air (keridhaan Allah) yang merupakan tujuan akhir. Sebagai sebuah alat atau kendaraan, agama dapat saja menyelamatkan (mengantarkan kepada kebenaran dan perkenan Tuhan), juga dapat membahayakan (menjadi berhala dan tidak mengantarkan kepada kebenaran). Tergantung siapa yang menggunakan alat atau yang menggerakkan kendaraan agama tersebut. Adanya bentuk politisasi transendental (ta’yis al-muta’âli) dan transendentalisasi politik (ta’âli al-siyâsah) (menggunakan agama untuk kepentingan kekuasaan) dalam sejarah yang telah melahirkan berbagai kekerasan atas nama agama, merupakan bukti destruktif atau membahayakannya agama—sekalipun di tangan orang yang beragama atau berpengetahuan.

Berdasar pemahaman di atas, dapat disimpulkan bahwa agama berbeda dengan wahyu. Agama lebih merupakan pemahaman atau penafsiran atas teks wahyu—bersifat profan—sedangkan wahyu adalah teks itu sendiri (kalâm atau firman Tuhan) yang bersifat sakral dan trans-historis. Oleh karena itu, pemikiran keagamaan dalam Islam selalu mengidentikan agama dengan fiqh. Sebagaimana kita ketahui bahwa fiqh merupakan produk pemikiran yang sifatnya rasional empiris karena memadukan antara pemahaman wahyu secara rasional dengan pemahaman atas kenyataan atau realitas empiris. Hal ini dapat dipahami misalnya, mengenai konstruksi pembidangan agama dalam pemikiran keagamaan yang membagi agama menjadi empat bidang atau wilayah keagamaan, yaitu wilayah akidah, ibadah, akhlak dan mu’amalah. Pembidangan agama tersebut jelas fiqh (produk pemikiran atau pemahaman atas teks wahyu). Sebab wahyu sendiri tidak menjelaskan secara rinci pembidangan agama seperti di atas. Sehingga agama bidang akidah disebut fiqh akidah; agama bidang ibadah disebut fiqh ibadah; agama bidang akhlak disebut fqh akhlak dan demikian pula agama bidang mu’amalah disebut fiqh mu’amalah.

Pembedaan antara agama (fiqh) dan wahyu ini merupakan paradigma atau pandangan dasar yang sangat penting untuk lebih menjelaskan bahwa pemahaman keagamaan tidak lantas secara otomatis menunjukan (sesuai) kehendak atau keridhaan Tuhan. Ini sekali lagi penting sebab paradigma tersebut memberikan implikasi yang luas, baik dalam dimensi mode of knowing atau cara pandang keagamaan (implikasi metodologis, manhaji) maupun pada dimensi praktis aksional (implikasi aksiologis). Disini, sekali lagi, agama berbeda dengan keridhaan atau perkenan Tuhan sebagaimana berbedanya alat, kendaraan atau jalan dengan tujuan.

Namun terkadang dalam kehidupan beragama, kita sering menempatkan agama secara salah (tidak proporsional). Agama menjadi segala-galanya (dianggap sebagai tujuan akhir) di atas keridhaan Tuhan sendiri. Agama memang bersumber pada wahyu Allah yang kebenarannya bersifat mutlak (qath’iy al-wurûd), tetapi pemahaman (rumusan interpretatif) atas wahyu tersebut bersifat relatif (zhanny al-dilâlah). Sebab, agama atau produk pemikiran keagamaan, bukan semata refleksi atas dunia teks (wahyu) yang bersifat statis, tetapi, ia merupakan konstruksi aktif dari penafsir itu sendiri. Jika argumen ini diterima, maka setiap penafsiran akan selalu bersifat subyektif. Hal ini didasarkan beberapa alasan.

Pertama, watak teks wahyu itu sendiri yang mengandung pluralitas makna (al-wujuh wa al-nazha`ir) dan tidak tertutup pada interpretasi tunggal. Dalam studi teori interpretasi kontemporer ketika wahyu bergeser dari wacana lisan dan dibakukan dalam bentuk teks tertulis (mushhaf), maka terjadi distansi (jarak) antara teks dan pengarang. Artinya, pemahaman atau penafsiran teks wahyu terlepas dari maksud pengarang. Ketika wahyu menjadi sebuah teks, maka ia memiliki “otonomi semantik” yang dapat berbicara sendiri dan mengungkapkan makna melalui struktur linguistiknya. Karenanya, pembaca atau penafsir teks wahyu dapat mengartikan dan menafsirkan teks tersebut terlepas dari maksud pengarangnya (Tuhan/Nabi). Tetapi, tidak berarti bahwa pengartian atau penafsiran teks wahyu menjadi bebas sama sekali, tanpa ada kontrol. Dalam konteks ini, yang mengontrol penafsiran adalah struktur linguistis teks yang diciptakan oleh pengarang itu sendiri.

Distansi juga terjadi antara teks wahyu dengan konteks pengarang pertama dimana wahyu diturunkan. Karena itu, pengartian atau penafsiran terhadap teks wahyu dapat terlepas dari konteks nuzûl-nya. Pembaca atau penafsir dapat melakukan dekontekstualisasi dan membuat kontekstualisasi baru (rekontekstualisasi). Dengan demikian, wahyu sebagai teks akan selalu memungkinkan menciptakan “dunia makna baru” dan meninggalkan “dunia makna lama”—meskipun makna lama masih berlaku dalam konteks tertentu—yang dimaksud oleh pengarangnya, apabila dilakukan pembacaan oleh pembaca yang baru.

Selain itu, ketika wahyu dibakukan dalam bentuk tulisan, maka terjadi distansi antara teks wahyu dengan pendengar pertama. Pada saat Al-Quran diwahyukan secara lisan, yang terjadi adalah kontak langsung antara Tuhan (sebagai pembicara) dan Nabi-Nya (sebagai penerima pertama), serta antara penerima pertama (Nabi) dengan sahabat dan lawan-lawannya. Di sini ungkapan pengujaran terdiri antara “kami” dan “kamu” atau “aku” dan “kamu”, atau kami, kamu dan mereka. Tetapi, ketika wacana pewahyuan secara lisan dibakukan dalam bentuk teks tertulis, maka “aku” dan “kamu” menghilang, dan berganti menjadi pendengar yang universal, lalu terjadilah universalisasi pendengar.

Distansi antara teks-pengarang, teks-konteks pertama dan antara teks-pendengar pertama inilah yang menyebabkan banyaknya tafsir terhadap teks-teks wahyu. Dengan kata lain, pengartian atau penafsiran teks wahyu akan selalu bermunculan, begitu terjadi kegiatan interpretasi oleh pembaca-pembaca yang baru. Interpretasi-interpretasi baru tersebut, memunculkan arti-arti dan penafsiran-penafsiran baru, sehingga terjadilah multiformitas penafsiran dan relativitas pemahaman atasnya.

Kedua, subyektivitas penafsiran terjadi karena keterikatan penafsir pada ruang dan waktu. Kita tahu bahwa penafsir (mujtahid) pada saat menafsir teks wahyu sangat terikat oleh ruang dan waktu (konteks psikio-sosio-kultural) yang melatarbelakangi penafsirannya tersebut. Dan kita tahu bahwa keterikatan pada dimensi ruang dan waktu dapat menimbulkan bias pada penafsiran. Hal ini, mengikuti pandangan Heidegger dan Gadamer bahwa semua pengalaman memahami atau menafsirkan selalu menyertakan suatu pra-anggapan (cakrawala pemahaman awal atau prasangka, vorurteile) dari penafsir yang melakukan pemahaman. Setiap penafsir tidak bekerja dengan tangan yang sebelumnya kosong, tetapi sejak awal ia membawa sesuatu yang ia miliki (vorhabe), sesuatu yang ia lihat (vorsicht) dan sesuatu yang akan menjadi konsepnya kemudian (vorgriff). Karena itu, setiap pemahaman atau penafsiran atas agama akan bersifat subyektif dan relatif. Contoh sederhana misalnya, penafsiran atas teks politik (berbicara mengenai karakteristik kepemimpinan). Seorang penafsir yang mendukung pada calon presiden (capres) tertentu, ia akan menafsir teks kepemimpinan tersebut, sesuai dengan kapabelitas yang dimiliki oleh calon presidennya. Atau, ketika situasi sosial, politik, ekonomi dan perkembangan ilmu pengetahuan mengalami perubahan, maka penafsiran atas teks wahyu selalu menyesuaikan dengan perubahan tersebut. Itulah sebabnya, penafsiran akan selalu bersifat dinamis-relatif, sejalan dengan konteks sosial dan kultural yang berkembang.

Ketiga, setiap penafsiran akan bersifat subyektif dikarenakan adanya perbedaan cara pandang keagamaan, baik yang bersifat teologis maupun filosofis. Misalnya, pandangan yang berbeda mengenai teks kitab suci antara kalangan fundamentalis dan liberal. Bagi kalangan fundamenmetalis, kitab suci Al-Quran dipandang sebagai kalâm Allah yang bersifat sakral dan meta-historis (fauqa tarikh). Pandangan ini sama sekali berbeda dengan kalangan liberal yang memandang Al-Quran sebagai "produk budaya" atau "wacana sejarah" dan karena itu bersifat historis. Menurut kalangan liberal, meskipun Al-Quran merupakan Kalâm Allah yang bersifat meta-historis, tetapi ia telah memasuki proses pewahyuan—mengalami interaksi dialektis dengan realitas budaya—dan dalam proses pewahyuannya, Al-Quran juga menggunakan bahasa Arab yang bersifat kultural dan lokal-partikular. Secara filosofis, kalangan fundamentalis ini menentang terhadap penggunaan metode kritis dalam memahami teks kitab suci. Hal ini sejalan dengan pandangan teologisnya, bahwa Al-Quran merupakan kalâm Allah yang sakral-meta-historis, dan oleh karena itu, tidak dapat didekati melalui studi kritik-historis yang bersifat manusiawi. Kalangan fundamentalis menolak pendekatan ilmiah dan filosofis seperti hermeneutik. Suatu pandangan yang berbeda dengan kalangan liberal yang menyatakan bahwa karena Al-Quran bersifat historis, maka Al-Quran harus tunduk pada norma-norma kesejarahan manusia. Karena itu, pendekatan yang digunakan adalah tidak semata teologis atau keimanan, melainkan juga diperlukan pendekatan nalar rasional dan pendekatan ilmiah (logika keilmuan), terutama ilmu humaniora (bahasa, filsafat, hermeneutik, arkeologi) dan ilmu-ilmu sosial (sejarah, psikologi, sosiologi dan, antropologi). Perbedaan cara pandang tersebut melahirkan produk penafsiran yang berbeda anatar kedunya. Misalnya, keduanya berbeda dalam penafsiran teks-teks yang berkait dengan masalah pluralisme agama, teks gender (kepemimpinan, poligini dan hak waris perempuan), masalah hak asasi manusia (HAM), demokrasi dan teks-teks lainnya.

Mengingat relativitas agama atau pemikiran kagamaan itulah, maka diperlukan kearifan dalam beragama. Tidak bersikap binner opposition atau langsung menghukumi hitam-putih, halal-haram, sunnah-bid’ah, mukmin-kafir dan sebagainya, tanpa terlebih dahulu melakukan kritik epistemologi terhadap pola penalarannya. Sebab, sebagaimana telah dikemukakan bahwa setiap penafsiran atas wahyu atau teks kitab suci merupakan produk pemikiran yang selalu bersifat hipothetical (zhanniyah). Kebenaran bukanlah milik perseorangan atau kelompok (datang dari satu sumber), melainkan milik semua orang dan semua kelompok (datang dari banyak sumber). Karena itu, tidak ada kebenaran maksimal, tetapi yang ada adalah kebenaran minimal. Dalam konteks ini, perlu dipertimbangkan semangat kearifan para mujatahid awal, bahwa sekalipun pandangan kita itu benar, tetapi harus diasumsikan mengandung suatu kesalahan. Sebaliknya, sekalipun pandangan orang lain itu salah, tetapi harus diasumsikan mengandung suatu kebenaran “ra’yunâ shawwâb yahtamilu al-khatha’, wa ra’yu ghairina khatha’ûn yahtamilu as-shawwâb” (pendapat kami adalah benar, tetapi menyimpan kesalahan dan pendapat selain kami adalah salah, tetapi menyimpan kebenaran).