Kamis, 08 April 2010

KERAPUHAN TEOLOGI DAN AKHLAQ

Oleh: Hendar Riyadi


Kita semua, tengah dihadapkan pada tantangan besar peradaban. Tantangan terbesar antara lain, datang dari dunia pendidikan dan kebudayaan. Kini kita tengah mengalami apa yang disebut sejumlah kalangan dengan “krisis dunia pendidikan” dan “krisis kebudayaan”. Wajah pendidikan dan wajah kebudayaan kita sangat muram. Meminjam bahasa agama, tampak iswaddat wujûhuhum atau wujûhuhum muswaddah (wajahnya hitam muram). Terlalu banyak kabut masalah yang menyelimuti langit pendidikan dan kebudayaan kita. Sampai-sampai banyak kalangan yang sangat pesimis dapat menata bangun kembali peradaban bangsa kita, karena melihat kemuraman dari wajah pendidikan dan kebudayaannya. Kedua institusi ini merupakan pesawat utama penggerak peradaban. Jika pesawat penggerak peradaban ini tidak berjalan atau mengalami kerusakan, maka dapat dipastikan gerak peradaban juga akan terganggu atau malah tidak dapat bergerak kembali.

Krisis dunia pendidikan dan krisis kebudayaan ini, sekali lagi, merupakan tantangan terbesar peradaban. Bila diamati, keduanya sangat berkait erat dan saling menentukan satu terhadap yang lainnya. Krisis dunia pendidikan dapat menyebabkan krisis kebudayaan, dan sebaliknya krisis kebudayaan dapat menyebabkan krisis dalam dunia pendidikan. Krisis pendidikan misalnya, ditandai dengan kegagalan dunia pendidikan dalam “memanusiakan manusia”. Suatu proses humanisasi yang sesungguhnya menjadi hakikat, misi, tujuan dan fungsi utama dari pendidikan.

Memanusiakan manusia yang dimaksudkan adalah menjadikan manusia sebagai hamba Allah (‘abd Allah), sekaligus khalifah Allah di muka bumi (khalifah Allah fi al-‘ard). Dimensi ‘abd adalah dimensi moralitas, spiritualitas dan kesalehan (religiously), sedang dimensi khalifah adalah dimensi intelektualitas dan humanitas (keilmuan dan kemanusiaaan). Sejatinya, pendidikan dapat membangun karakter manusia sebagai ‘abd Allah dan khalifah Allah fi al-‘ard tersebut. Tetapi, dalam realitasnya dunia pendidikan kita justru kerapkali melahirkan manusia (warga belajar) yang jauh dari karakter kesalehan, moralitas, spiritualitas dan religiusitas, serta tidak dapat mengembangkan dimensi intelektualitas dan humanitas secara baik.

Itulah krisis dalam dunia pendidikan. Krisis dalam dunia pendidikan seperti dijelaskan di atas, tentu sangat berpengaruh, menentukan dan bahkan mengakibatkan krisis dalam kebudayaan kita. Ilustrasinya adalah seperti membuat kue dan makanan. Pendidikan adalah lembaga pencetak tukang dan resep makanan, sedang kebudayaan adalah produk atau kue dari tukang dan resep yang digunakan. Jika tukang dan resepnya kurang baik, maka pasti produk kuenya pun kurang baik, atau malah gagal dalam memproduksi kue yang baik.

Demikian pula, kaitan antara krisis pendidikan dan krisis kebudayaan. Karena pendidikan gagal dalam memanusiakan manusia, yakni membangun manusia yang berkarakter ‘abd Allah dan khalifah Allah fi al-‘ard, sedang kebudayaan dibangun oleh manusia-manusia dari produk pendidikan yang gagal tersebut, maka sudah dipastikan kebudayaan yang dibangunpun akan mengalami kegagalan dan krisis yang tidak menentu. Misalnya, jika pendidikan melahirkan manusia (warga belajar) yang jauh dari karakter kesalehan, moralitas, spiritualitas dan religiusitas, serta tidak dapat mengembangkan dimensi intelektualitas dan humanitas secara baik, maka kebudayaan yang dibangunnyapun akan kosong dari dimensi-dimensi tersebut.

Sebaliknya juga, krisis kebudayaan dapat menyebabkan krisis dalam dunia pendidikan. Krisis kebudayaan misalnya, ditandai dengan pergeseran orientasi nilai (kepada yang lebih bersifat materialistik, hedonistik dan konsumeristik), dan semakin rapuhnya norma-norma masyarakat, baik norma keluarga maupun norma agama. Kedua norma yang menjadi benteng pertahanan moralitas kebudayaan tersebut, kini telah digantikan dengan “norma uang”. Norma uang itulah yang sekarang menjadi ukuran kebajikan, bahkan menjadi standar kebenaran dan kesalehan. Uang telah mengikat cara berpikir masyarakat dan membentuk pandangan hidup, sekaligus tujuan hidupnya. Bangsa kita memang masih rendah tingkat kesejahteraan ekonominya. Mereka akan dihadapkan pada berbagai persoalan hidup dan bergulat untuk memenuhi kebutuhan pangan, sandang dan papan, sehingga mengabaikan pertimbangan aspek spiritualitas, intelektualitas dan humanitas (rasa ketuhanan, keilmuan dan kemanusiaan) atau dimensi iman, ilmu dan amal. Trilogi ajaran agama yang sangat penting dalam pembangunan sebuah kebudayaan dan peradaban.

Perkembangan kebudayaan di atas, akhirnya membentuk suatu falsafah kebudayaan yang cenderung materialistik dan pragmatis. Materialistik artinya lebih berorientasi pada pemenuhan yang bersifat materi. Dalam falsafah kebudayaan ini, materi dijadikan sebagai tujuan kebaikan puncak, sedang dimensi spiritual hanya dijadikan sebagai kedok kesalehan untuk mengeruk keuntungan secara materi. Adapun falsafah kebudayaan pragmatis lebih menjadikan keuntungan atau pemenuhan kebutuhan sebagai nilai kebajikan. Dalam falsafah ini, kebaikan adalah sesuatu yang menguntungkan atau diukur oleh sejauhmana sesuatu itu dapat menjadi instrumen bagi pemenuhan kebutuhan atau alat mencapai tujuan. Pragmatisme kebudayaan ini sesungguhnya dapat bersifat positif jika plus nilai-nilai spiritualitas. Tetapi, karena kelahirannya dari rahim kebudayaan materialisme, maka pragmatisme juga bersifat materialistik. Artinya, keuntungan dan pemenuhan kebutuhan yang dikejar sebagai nilai kebajikan lebih bersifat materialitik.

Falsafah kebudayaan materialistik dan pragmatis inilah yang melahirkan krisis dalam kebudayaan bangsa kita. Falsafah kebudayaan materialistik dan pragmatis ini, juga mempengaruhi dan mengakibatkan krisis dalam dunia pendidikan. Falsafah ini telah menjadi pijakan dalam cara bekerja di dunia pendidikan. Cara bekerja yang terpenting adalah bagaimana menyelesaikan pekerjaan dengan baik yang menjadi beban tugasnya agar pantas memperoleh upah atau imbalan yang bersifat materi. Sementara bagi anak didik atau warga belajar yang terpenting adalah cepat lulus dan cepat mendapat pekerjaan. Hakikat, tujuan dan misi utama dari pendidikan, yaitu membangun karakter ‘abd Allah dan khalifah Allah fi al-ard menjadi terabaikan. Dalam keadaan demikian, maka dinamika dunia pendidikan hanya bergerak ke satu wilayah, menuju dan untuk materi.

Krisis dalam dunia pendidikan dan kebudayaan inilah yang sesungguhnya menjadi faktor utama penyebab lahirnya berbagai krisis lainnya, termasuk krisis dalam bidang politik, ekonomi, hukum dan krisis kemanusiaan secara luas. Oleh karena itu, mungkin tidak berlebihan bila dikatakan bahwa untuk menata bangun kembali peradaban bangsa kita, perlu memulai dengan mereformasi pendidikan dan melakukan revolusi kebudayaan. Reformasi pendidikan dan revolusi kebudayaan barangkali merupakan conditio sine qua non (syarat mutlak) dalam membangun suatu peradaban.

Ada banyak akar masalah dari semua krisis yang terjadi dalam dunia pendidikan dan kebudayaan kita. Namun, dari sejumlah akar masalah tersebut, yang sangat mendasar adalah terjadinya “kerapuhan teologis dan akhlaq”. Diantara bentuk dari kerapuhan teologis dan akhlaq ini adalah krisis ketulusan dan keteladanan. Dunia pendidikan dan kebudayaan kita sulit menemukan figur yang tulus dan tauladan yang baik. Semua lembaga dan institusi, termasuk pendidikan dan kebudayaan sudah dipenuhi oleh orang-orang “separuh siluman”. Tidak ada ketulusan dan keteladanan dalam rasa ketuhanan, rasa keilmuan dan rasa kemanusiaan. Oleh karena itu, untuk menata bangun kembali dunia pendidikan dan kebudayaan kita, perlu mencerahkan dan meneguhkan kembali teologi dan akhlaq umat ini, yakni ketulusan dan keteladan.

TUGAS KEKHALIFAHAN DI KOTA BANDUNG

Oleh : Hendar Riyadi


Saat Adam alaihissalam hendak diturunkan ke bumi, Adam disuruh singgah terlebih dulu di surga. Tujuannya adalah agar Adam dapat mempelajari kenyaman suasana surga untuk dapat mewujudkan suasana yang sama di bumi. Di gambarkan dalam kitab-kitab suci bahwa suasana surga itu sangat nyaman. Tidak terdengar kata-kata yang sia-sia, kedustaan dan yang menimbulkan dosa. Kata yang terdengar hanya salam kedamaian. Tiap pagi dan petang selalu melimpah rezeki yang penuh berkah. Tidak lapar, tidak haus, tidak telanjang dan tidak tersengat matahari. Itulah gambaran suasana surga yang akan menjadi bekal Adam dalam membangun dan memakmurkan bumi. Menjadi khalifah Allah.

Bumi pertama yang Adam pilih adalah kota Bandung. Daya tarik gravitasi keindahannya sangat besar. Dalam pikiran Adam, potensi suasananya hampir mirip dengan suasana surga. Tutur kata warganya sangat ramah dan santun. Hormat ka saluhuren, nyaah ka sahandapen jeng someah ka sasama (menghormati yang lebih dewasa, menyayangi yang lebih kecil dan santun kepada yang seusia). Alamnya, sangat mempesona, subur dan makmur. Masyarakatnya resep nulung kanu butuh nalang kanu susah (senang membantu yang memerlukan dan menanggung yang kesulitan). Silih asih, silih asah jeng silih asuh. Dalam kehidupan keluarga terjalin hubungan yang baik, hirup sauyunan, ka cai jadi saleuwi ka darat jadi salogak. Pendek kata, Adam berkesimpulan bahwa bumi Bandunglah yang sangat tepat untuk mewujudkan kondisi dan suasana sebagaimana gambaran surga. Mengemban tugas kekhalifahannya di bumi.

Sekian lama Adam berada di bumi Bandung. Setiap hari ia mengamati dan berkeliling mondar mandir dari kota ke desa, dari desa ke kota. Sudut-sudut mana saja yang kira-kira perlu diperbaiki, direkonstruksi atau bahkan harus di dekonstruksi. Hutan, air, udara dan iklim tak luput menjadi pengamatannya. Konon kata dunia iklim ini telah merubah. Bumi, kata para ahli tengah mengalami pemanasan yang sangat luar biasa. Mereka menyebutnya dengan "global worming" (pemanasan global). Adam memang merasakan juga gejala yang sama di bumi Bandung. Dulu sangat sejuk, tapi kini telah berubah menjadi panas. Jangan-jangan pikir Adam, ini berpengaruh pada perubahan emosi warga Bandung juga. Itulah hipotesis Adam berkait dengan hubungan perubahan iklim dan emosi. Sebab, belakangan, warga Bandung telah mengalami banyak perubahan. Ini mungkin juga bersamaan dengan meluasnya pembangunan di kota-kota dan di desa-desa.

Dulu, sebagaimana telah disebutkan, warga Bandung dikenal sangat ramah, santun dan menyejukkan. Tutur katanya hormat ka saluhuren, nyaah ka sahandapen jeng someah ka sasama. Resep nulung kanu butuh nalang kanu susah. Sili asih, sili asah jeng sili asuh. Hirup sauyunan, ka cai jadi saleuwi ka darat jadi salogak. Tapi kini telah berubah. Sebagian warganya jadi garihal tur telenges (kasar dan kejam). Tutur katanya kasar dan sikapnya kejam. Inikah munkin karena diakibatkan perubahan iklim? Global worming memang masalah besar. Tetapi, masalah perubahan emosi dan budaya tidak kalah pentingnya. Kata-kata kotor (sia-sia), penuh kebencian dan caci maki seharusnya mendapat perhatian semua warga. Apa yang terjadi dengan kota Urang Sunda yang dulu dikenal sangat ramah dan soméah itu? Kaum muda dan remajanya membuat geng-geng dengan simbol kekerasan dan ketelengesan. Budayanya tidak lagi santun. Sebaliknya, mereka resep maledog kanu gede, nalipak kanu leutik (menentang kepada yang besar, menendang dan menindas kepada yang kecil). Para orang tuanya melakukan pemerasan kepada warga dan penyunatan hak murid-muridnya. Antar keluarga dan tetangganya jadi individualis (aing-aingan) serta warganya senang berkelahi (pasea, garelut). Adam berpikir sejenak dan berkata kepada dirinya, inilah tugas kekhalifahan pertama di bumi Bandung. Tugas kekhalifahan ini berkait dengan norma dan moralitas budaya.

Saat berteduh di bawah pohon untuk menenangkan pikiran dan meredakan kelelahan, sambil mengarah ke aliran air sungai yang agak kehitam-hitaman, tiba-tiba Adam dikejutkan dengan ledakan besar. Adam terusik ketenangannya, lalu ia mencari sumber bunyi tersebut. Desas-desus, tumpukan gunung sampah Leuwi Gajah itu meledak dan terjadi longsor besar. Banyak warga setempat yang harus diamankan, dibawa lari ke rumah sakit dan bahkan ada yang terpaksa digotong ke pemakaman dan ditimbun dengan tanah. Konon memang karena leuwi tersebut telah dipenuhi gajah-gajah sampah yang gemuk-gemuk dan tingginya menjulang ke langit. Leuwi tersebut sudah rapuh, keropos dan berbau menyengat sehingga gajah-gajah sampah tersebut ambruk. Sejak itulah bumi Bandung dilanda banjir sampah. Jalan-jalan trotoar hingga protokol dipenuhi tumpukan-tumpukan limbah rumah tangga dan industri yang aromanya tak sedap. Udara Bandung berubah dari menyejukkan menjadi menyesakkan. Dengan sekejap waktu kota kembang telah berganti wajah menjadi kota sampah.

Adam menarik nafas panjang-panjang. Dadanya terasa sesak dan jantungnya berdetak keras. Ia termenung betapa tugas kekhalifahan yang satu ini sangat berat. Isu terakhir, gunungan sampah tersebut akan dijadikan PLTSa. Pembangkit Listrik Tenaga Sampah. Mungkinkah? Bagaimana dengan dampaknya? Apakah PLTSa tidak lebih berbahaya dari PLTN. Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir. Memang berbeda antara "Sa" dan "N". Tetapi, mungkin ledakannya akan sama. Dampaknya tidak hanya dapat membunuh bakteri dan mikroba, melainkan juga manusia. Inilah barangkali kenapa banyak warga menolak kedua proyek tersebut. Tugas kekhalifahan ini memang sangat berat. Perlu riset yang memadai, baik dampak lingkungan, pertimbangan ekonomi, hingga dampak sosial dan keramahannya bagi kemanusiaan.

Cucu-cucu Adam yang lahir di bumi Bandung, memang sama sekali tidak menghendaki menjadi miskin. Tuhan pun demikian, tidak menghukuminya sebagai manusia-manusia miskin. Tapi, kenyataannya di setiap persimpangan kota dan rambu-rambu lalu lintas, banyak bertebaran para pengemis dan anak jalanan. Setiap tahun bukan berkurang, malah telah menjadi mata pencaharian. Lapangan kerja baru yang kurang sehat. Mereka adalah usia-usia yang seharusnya ada dibangku sekolah. Ini adalah masalah sosial yang tidak mudah untuk dipecahkan. Banyak lembaga-lembaga, baik bentukan pemerintah atau swadaya masyarakat yang punya perhatian untuk masalah sosial ini. Tapi, mungkin kurang ketulusan dan keteladanan. Nyatanya berbagai program untuk pengemis dan anak jalanan tidak menyurutkan mereka untuk turun dan memilih jalanan sebagai tempat mangkalnya. Tempat segala aktivitas, kreativitas, hingga memejamkan matanya.

Adam mengingat-ingat kembali memorinya yang tersimpan lama sewaktu di surga. Suasana jalan-jalan seperti itu, tidak pernah ia temukan di surga. Inilah yang Adam pikirkan untuk mewujudkan gambaran ideal surga di bumi kota kembang itu. Ia berharap cucunya nanti lebih senang berada di sekolah dari pada di jalanan. Lebih bersahabat dengan buku bukan dengan genjringan. Lebih memilih menghirup karbon dioksida yang keluar dari mulut guru, dari pada menghirup gas emisi yang keluar dari knalpot kendaran. Mungkin program-program untuk penanganan para pengemis dan anak jalanan tersebut sudah dirumuskan secara baik. Tidak lagi diragukan. Orang Bandung memang ahlinya konsep. Hanya, barangkali perlu tiga kata lagi, ketulusan, keteladanan dan aksi.

Kini giliran Adam berkunjung ke sekolah-sekolah. Disana Adam dikerumuni guru-guru. Satu persatu guru-guru mengeluarkan unek-uneknya. Bu Raisya, guru PPKn pada sekolah itu mengeluhkan perlakuan yang beda kepada guru negeri dan guru swasta. Guru negeri mendapat tunjangan sedang guru swasta tidak mendapat tunjangan dari APBD. Padahal sama-sama guru. Kenapa membeda-bedakan pahlawan tanpa tanda jasa ini. Kalau anggarannya kurang mencukupi, kenapa tidak dibagi rata saja. Masing-masing misalnya, mendapat tunjangan untuk membeli buku seribu rupiah. Bu Verta maju ke depan. Guru Matematik ini menyesalkan kebijakan pemerintah yang masih belum berpihak secara serius kepada guru. Belum ada lompatan kebijakan yang berarti bagi peningkatan kesejahteraan guru. Seperti Bu Raisya dan Bu Verta, guru-guru yang lainnya juga mengeluhkan hal yang sama, yakni seputar masalah kesejaheraan guru. Ini tampaknya harus menjadi pemikiran bersama agar kualitas pendidikan kita lebih bermutu.
Mendengar keluhan guru-guru tersebut, Adam menggeleng-gelengkan kepala. Keningnya mengkerut keheranan. Kenapa, sejak ia turun ke bumi, perlakuan terhadap guru Umar Bakri ini tidak berubah. Padahal pikir Adam, ini adalah tugas kekhalifahan yang sangat mulia. Bangsa yang besar adalah bangsa yang lahir dari pendidikan. Sedang pendidikan yang besar adalah pendidikan yang menghargai para pahlawan tanpa tanda jasanya. Cita-cita Bandung bermartabat, sesungguhnya dapat dimulai dari perbaikan dunia pendidikannya.

Adam menyadari bahwa tugas kekhalifahan yang embannya sangat berat. Masalah norma dan moralitas kebudayaan, masalah lingkungan dan sampah, masalah sosial, pengemis, anak jalanan dan kemiskinan, serta masalah pendidikan. Pengalamannya mengenai gambaran ideal surga harus dapat diwujudkan di bumi Bandung melalui perhatian dan aksi yang agak relatif transformatif dalam menyelesaikan problem-problem tersebut. Semua itu memerlukan keterbukaan dan partisipasi pikiran, hati, kehendak dan tenaga dari berbagai pihak. Kita semua bukan sekedar saksi pasif atas zaman dan keadaan. Bukan sekedar obyek penderita baginya, atau menjadi bagian dari masalah itu. Tetapi kita yang harus membuat zaman dan keadaan kita sendiri menjadi baik, bermartabat dan berkeadaban.

MASALAH MORALITAS SOSIAL

oleh: Hendar Riyadi


Pagi Bu …! Maaf aku kesiangan lagi. Ayo-ayo… semuanya ke lapangan, ikut upacara. Kata-kata itu memecah keheningan pagi nan dingin. Pagi itu, saat bel sekolah berdering, Cecin, salah seorang murid kelas IX pada satu sekolah tingkat SMP, baru tiba di sekolah. Dengan nafas yang masih terengah-engah, ia memasuki halaman sekolah untuk mengikuti upacara Senin pagi. Keringatnya yang belum mengering membasahi pakaian seragamnya yang putih lusuh. Sepatunya yang telah robek-robek, seperti buaya yang menganga hendak menyantap mangsanya, tampaknya ikut merasakan keletihan. Menjadi teman setia di kala suka, duka maupun luka. Kurang lebih 2,5 km jarak yang ditempuh dari rumah ke sekolahnya. Ia harus menempuhnya dengan berjalan kaki.

Teman-temannya juga bernasib sama. Jalan berliku dan turun naik, serta hutan belantara dilaluinya dengan tetatih-tatih. Demi setumpuk harapan tentang masa depan yang belum jelas, jarak terjal dan berliku bukan sebuah halangan. Keletihan, seragam yang lusuh dan sepatu yang banyak luka sayatan, tidak menipiskan semangat Cecin dan teman-temannya untuk pergi ke sekolah. Mereka menggantungkan cita-citanya di langit sekolah dan berharap kelak menjadi manusia yang dihargai kemanusiaannya.

Tenggorokannya yang kering kerontang tak tertahankan lagi. Tapi untung ada warung sekolah. Mereka cukup membeli seduhan minuman dengan segelas air es. Meski udara gunung yang sangat dingin, namun bagi Cecin dan teman-temannya, air es dapat menyegarkan kembali tubuh dan melegakkan tenggorokannya yang kehausan. Begitu gigihnya mereka menuntut ilmu. Tidak peduli saat hujan dan cuaca dingin menusuk-nusuk lubang pori-pori atau saat terik matahari membakar seluruh tubuhnya.

Upacara baru dimulai. Namun, tiba-tiba seorang siswa pingsan tergeletak. 5 menit kemudian beberapa siswa digandeng ke luar arena upacara. Seperempat jam kemudian di satu ruang sempit (para siswa menyebutnya ruang UKS) telah terkumpul 15 sampai 20 siswa yang sakit tidak tahan berdiri lama. Semua guru sudah tahu. Karena tidak ada upacara Senin yang dilewatinya dengan mulus tanpa siswa yang pingsan atau sakit tidak tahan berdiri lama. Alasannya pasti dua kata “belum sarapan”. Tapi, ini bukan belum sarapan yang biasa karena buru-buru takut terlambat datang ke sekolah. Orang tua mereka memang terkadang tidak punya beras untuk dimasak atau sesuatu yang dapat mengganjal isi perutnya. Karena itu, Cecin dan teman-temannya terkadang menempuh perjalanan ke sekolah dengan perut kerocongan.

Upacara telah selesai. Semua siswa masuk bergerombol ke kelas masing-masing, kecuali Cecin. Ia tengah diinterogasi oleh Guru Agamanya. Cecin sudah sering diperingatkan dan ditegur lantaran absensinya yang penuh alfa. Hampir setiap minggu ada saja hari-hari yang bolos. Guru Agamanya itu pada mulanya kesal karena beberapa kali diperingatkan untuk tidak bolos lagi, tapi tidak diindahkannya. Saat itu Cecin diiterogasi kembali. Namun, Gurunya sangat kaget ketika air matanya tergenang. Anak dari warga dusun itu berkata sambil menjatuhkan air matanya: “Bu, sebenarnya saya punya alasan tidak masuk sekolah”. Gurunya balik bertanya “apa alasannya”? Dengan suara terbata-bata, ia menjawab persis seperti alasan teman-temannya yang pingsan saat upacara: tidak bisa sarapan pagi. Ia menuturkan bahwa orang tuanya terkadang punya beras dan terkadang tidak. Saat tidak punya beras, ya saya tidak masuk sekolah karena tidak dapat sarapan. Kalau dipaksakan berangkat sekolah saya harus punya uang untuk jajan. Tapi, punya uang dari mana, beras juga susah didapat. Kini giliran Gurunya yang iba dan memahami persoalannya. Tidak sepatah katapun yang terucap.

Mungkin sangat banyak Cecin-Cecin yang lainnya di Negeri ini. Mereka memiliki semangat belajar yang kuat, tetapi terpaksa harus mengubur harapannya yang besar karena keterbatasan ekonomi keluarga. Tidak ada beras untuk dimasak atau tidak punya uang jajan sekedar sebagai pengganti tidak sarapan. Mata air yang dituju, malah air mata yang didapatkan. Mereka mungkin beruntung masih bisa sekolah. Sebab, banyak teman-temannya yang lain, terpaksa harus putus sekolah di tengah jalan. Apalagi harus melanjutkan ke tingkat menengah atas (SMA). Bagi mereka wajar atau wajib belajar 9 tahun saja seperti mendaki gunung yang terjal. Bukannya kesampaian, malah banyak yang tergelincir di tengah perjalanan.

Sementara itu, dalam kenyataan lain, Bu Uhani tengah menghadapi kemelut besar. Seolah kiamat telah dekat. Ia bingung saat tahun ajaran baru datang. Anaknya yang memasuki usia remaja takut tidak bisa melanjutkan pendidikannya ke tingkat menengah pertama. Tidak muluk-muluk, asal bisa sekolah saja sudah cukup. Tidak peduli sekolah bermutu atau tidak. Tidak mudah memang, bagi orang seperti Bu Uhani untuk bisa menyekolahkan anaknya. Ia harus pinjam sana, pinjam sini. Mahalnya biaya pendidikan, telah menipiskan semangat, bahkan menghapuskan harapan akan masa depan anaknya. Sekolah, kini alih-alih bisa menyelesaikan masalah hidup, malah menjadi masalah hidup itu sendiri. Bu Uhani masih beruntung bisa menyekolahkan anaknya, meski tergopoh-gopoh. Sementara banyak ibu-ibu yang lain terpaksa harus pasrah bila anaknya tidak bisa lagi melanjutkan sekolahnya.

Negeri ini adalah negeri yang kaya raya. Sumber daya alamnya melimpah ruah. Sumber daya manusianya tersebar di mana-mana. Dunia menghargai sistem demokrasinya. Semua itu, menjadi modal material (material capital), modal manusia (human capital) dan modal sosial (social capital) yang sangat berarti untuk pertumbuhan suatu bangsa. Tetapi, entah dimana yang salah. Dalam setiap ritual tahunan, masyarakat kita tetap harus mengantri zakat fitrah atau daging qurban. Berjejalan saat penjualan sembako murah digelar. Bahkan setiap hari tidak sedikit keluarga yang hanya memperoleh makan nasi aking, ubi kayu dan singkong. Inilah potret muran negeri ini. Suatu potret kemiskinan di sekitar kita.

Kemiskinan kita tampaknya bukan semata kemiskinan biasa. Tetapi, kemiskinan yang dimiskinkan. Dalam bahasa ahli ilmu-ilmu sosial disebut kemiskinan struktural. Yaitu, kemiskinan yang diciptakan oleh karena struktur sosial yang timpang. Ini bukan berkait dengan masalah teologi. Tuhan pasti tidak berkehendak bangsa kita menjadi miskin. Bukan juga masalah kenaifan manusia itu sendiri. Masyarakat kita pasti tidak menghendaki hidupnya miskin. Hampir semua kalangan sepakat bahwa kemiskinan kita akibat struktur dan sistem sosial yang munkar. Karena itu, kemiskinan lebih berkait dengan masalah moralitas. Moralitas masyarakat, pemerintah dan moralitas orang kaya di antara kita yang hampir membeku. Mata hati dan kepekaannya seperti telah terkunci.

Mari kita lihat agenda studi tour wakil rakyat kita. Bermilyar-milyar mereka habiskan ke luar negeri, tanpa hasil yang bermakna untuk kemajuan bangsa, apalagi kaum papa. Malah sebaliknya mengganggu rasa keadilan masyarakat yang tengah menderita kelaparan dan kekurangan giji. Lihat, mereka yang lagi memegang kebijakan. Mereka hanya menghargai dan memanjakan pengusaha yang bermodal besar. Kelas teri hanya dilirik sebelah mata. Lihat juga orang kaya disekitar kita. Mereka lebih tertarik untuk belanja di mall-mall besar, pesta di hotel-hotel berbintang, daripada menghabiskan kekayaannya untuk memberdayakan masyarakat. Mengangkat martabat kaum dhu’afa, fuqara dan masakin. Semua itu menunjukkan moralitas bangsa kita yang kurang berkemanusiaan, berkeadilan dan berkeadaban.

Kalau kita memang bermoral, ke mana moral itu ketika para petani kita menjerit akibat kelangkaan pupuk, rendahnya harga jual, buruknya irigasi dan transfortasi, serta ketidakjelasan arah kebijakan impor beras. Kemana moral itu ketika angka kemiskinan terus membengkak dan lapangan pekerjaan tidak mampu menyerap tenaga kerja yang kian membengkak. Ke mana moral itu ketika ratusan ribu masyarakat miskin terpaksa antri, bahkan ada yang kehilangan nyawa, untuk mendapatkan dana kompensasi kenaikan harga BBM. Ke mana moral itu ketika kehidupan para pekerja semakin terimpit akibat kenaikan harga, inflasi, dan ketidakwajaran upah yang mereka terima. Demikian Prof. Syafi’i Ma’arif mengilustrasikan kondisi moralitas kita.

Persoalan moralitas ini semakin memperkuat kesenjangan sosial dan menciptakan polarisasi (pengkutuban) masyarakat yang tajam. Tidak adanya keadilan dan rasa keadilan dalam masyarakat kita. Politik, ekonomi dan hukum kita masih telenges dan hanya berpihak kepada kaum kaya. Kalau moralitas keadilan itu ada, maka tidak akan lagi kita jumpai ritual tahunan ketika orang mengantri zakat fitrah atau mengantri daging qurban. Kalau moralitas keadilan itu ada, maka tidak akan ada lagi antri minyak tanah atau "demonstrasi tempe". Kalau moralitas keadilan itu ada, maka tidak akan ada lagi gerombolan orang yang berjejalan membeli sembako murah. Kalau keadilan moralitas itu ada, maka tidak akan ada lagi rumah-rumah pinggiran atau PKL-PKL yang tergusur. Kalau moralitas keadilan itu ada, dimana keadilan itu ketika anak-anak jalanan, gelandangan dan para pengemis yang semakin tak terhitung. Pendidikan yang mahal dan anak-anak putus sekolah. Bayi-bayi kekurangan gizi dan busung lapar. Petani yang susah membeli pupuk. Mahasiswa yang dipusingkan dengan mahalnya biaya kuliah. Para korban lumpur, tsunami dan pengungsi yang nasibnya tidak menentu.

Oleh karena itu, perbaikan masyarakat miskin atau yang dimiskinkan, tampaknya perlu dimulai dengan memperbaiki terlebih dahulu moralitas atau akhlak sosial bangsa kita. Moralitas kepada Tuhan mungkin sudah cukup. Bahkan terkadang kita melebihi Nabi atau Tuhan sendiri dalam beragama. Kita tidak segan-segan menghukumi dan menghakimi dengan sesat atau kafir kepada orang lain yang berbeda pemahaman dan keyakinan dengan kita. Tetapi, moralitas yang perlu dihidupkan dalam masyarakat kita adalah moralitas sosialnya. Al-akhlaq al-ijtima’i, social ethic atau akhlaq sosial. Kepekaan, rasa empati atas penderitaan dan mau meluangkan pikiran, serta menggerakkan tangan dan kaki kita untuk membantu dan membela mereka yang termiskinkan dan dimiskinkan. Inilah saya kira tugas bersama kita yang maha penting. Problem besar kita sekarang bukan lagi TBC (takhayul, bid'ad dan churafat), tapi problem besar kita hari ini adalah bid'ah peradaban, yakni kemiskinan dan ketidakadilan.

Selasa, 06 April 2010

BERISLAM SECARA KONTEKSTUAL

Oleh : Hendar Riyadi


Islam adalah agama normatif sekaligus agama historis. Disebut normatif karena Islam berisi ajaran-ajaran murni yang bersumber pada wahyu Ilahi. Ia bersifat mutlak dan universal. Berlaku tanpa terikat oleh ruang dan waktu (shâlih likulli zamân wa makân). Sebagai agama normatif yang mendasarkan pada pewahyuan, maka Islam bersifat meta historis (fauqa târikh). Tetapi, ketika Islam normatif ini ditindakkan di dunia, menyatu dengan pengalaman hidup manusia atau termanifestasi dalam sejarah, maka Islam bersifat historis. Menyejarah dan kontekstual. Misalnya, ketika Islam normatif yang berisi ajaran-ajaran murni dari wahyu Allah itu dihadapkan atau dilibatkan pada pengalaman kehidupan sosial dan budaya di Makkah, maka terjadilah apa yang disebut dengan Islam historis atau kontekstualisasi ajaran Islam di Makkah. Sama halnya, ketika Islam normatif dihadapkan atau dilibatkan pada pengalaman kehidupan sosial dan budaya di Madinah, maka terbentuklah Islam historis atau kontekstualisasi ajaran Islam di Madinah.

Pengalaman Islam historis atau kontekstualisasi ajaran Islam dalam sejarah ini sangat penting. Islam seperti kata Asghor Ali Engineer (2000 : 10) tidak pernah meninggalkan konteks situasinya. Islam selalu memperhatikan data dan fakta sosial yang berkembang dalam masyarakat, sehingga Islam menjadi solusi kongkrit bagi penyelesaian problem masyarakat ((Fazlur Rahman, 2000: 43; 1985: 6 dan 21). Dalam konteks situasi sosial Makkah yang bercirikan, antara lain kebodohan (jahiliyah) serta ketiadaan kepekaan dan tanggung jawab sosial, maka Islam banyak memperkenalkan ajaran untuk berpikir dan menggunakan kecerdasan akal (intelektual), serta mengajarkan untuk menajamkan nurani, kepekaan dan tanggung jawab sosial. Sedang dalam konteks situasi sosial Madinah yang bercirikan kemajemukan (pluralistik), maka Islam banyak memperkenalkan ajaran dialog dan visi agama Ibrahim yang hanif sebagai ajaran titik temu antara kaum muslimin dengan ahlu kitab.

Islam historis atau kontekstualisasi ajaran Islam dalam sejarah adalah proses interaksi dialektis antara Islam normatif dengan pengalaman hidup manusia dalam situasi sosial dan budaya setempat. Kontekstualisasi ini merupakan bentuk respons Islam terhadap berbagai persoalan aktual yang terjadi dalam masyarakat. Pemikiran penting dari konsep kontekstualisasi Islam ini adalah bahwa Islam mengandung petunjuk-petunjuk untuk manusia (hudan li al-nâs), seperangkat aturan penjelas (bayinât min al-hudâ), serta kriterium pembeda antara kebenaran dan kebatilan (al-furqân). Agar Islam ini tetap relevan, maka Islam harus ditindakkan di dunia sesuai dengan pengalaman hidup manusia dalam bersosial dan berkebudayaannya. Semangat dasar inilah yang menuntut keniscayaan untuk ber-Islam secara kontekstual. Ber-Islam sesuai dengan konteks situasi sosial yang dihadapi. Dengan ber-Islam secara kontekstual, maka Islam dapat disuguhkan secara fungsional, artikulatif dan transformatif. Fungsional artinya dapat memberikan manfaat bagi penyelesaian berbagai persoalan kehidupan. Artikulatif artinya menjadi tempat pengaduan dan rujukan setiap persoalan. Sedang transformatif mengandung arti dapat memberikan hidayah perubahan dalam masyarakat, memberikan pencerahan kebudayaan dan peradaban. Dengan demikian, Islam akan tetap shalih li kulli zamân wa makân (relevan untuk segala zaman dan tempat).

Dalam konteks Indonensia, kontekstualisasi Islam berarti ber-Islam secara kontekstual sesuai dengan situasi sosial masyarakat Indonesia. Jika konteks situasi sosial Indonesia ditandai dengan kemiskinan atau tingkat kesejahteraan ekonomi yang rendah, maka ber-Islam secara kontekstual di Indonesia harus dapat merespons dan menyelesaikan problem kemiskinan. Bagaimana Islam sebagai ajaran yang bersumber pada wahyu Ilahi dapat menjadi idiologi kritik terhadap berbagai ketimpangan sosial. Jika ketimpangan sosial tersebut diakibatkan oleh berbagai bentuk kemungkaran sosial dan struktur kuasa yang tidak berkeadilan, maka ber-Islam secara kontektual di Indonesia, berarti melawan kemungkaran sosial dan merubah struktur kuasa yang tidak berkeadilan menjadi struktur kuasa yang berkeadilan.

Dengan demikian, ber-Islam secara kontekstual di Indonesia seharusnya lebih menampilkan akhlaq sosial (al-akhlâq al-ijtimâ’iyah). Kemungkaran sosial dalam bentuk tindakan yang merugikan masyarakat publik seperti korupsi, perusakan hutan dan lingkungan, sedapat mungkin harus dihindari dengan lebih mengedepankan kesalehan sosial. Sementara struktur kuasa yang tidak berkeadilan dalam bentuk akhlaq telenges, kekkerasan dan keserakahan, serta ketidakberpihakan kepada kaum dhu’afa, fuqara, masakin dan mustadh’afin, sedapat mungkin harus dirubah dengan lebih mengedepankan akhlaq kuasa yang berkeadilan. Ber-Islam yang ditampilkan harus memperlihatkan sens of social crisis (peka akan krisis sosial). Karena itu, bentuk prilaku apapun yang dianggap menimbulkan kecemburuan sosial dan mengganggu rasa keadilan adalah bertentangan dengan nilai keberislaman yang sejati. Dalam hal ini, kepemilikan kekayaan oleh individu maupun lembaga yang bermilyar-milyar di tengah penderitaan masyarakat dan kerawanan pangan adalah tidak sesuai dengan akhlak sosial Islam. Demikian pula memakai perhiasan yang menyolok mata seperti gelang emas pada tangan atau melaksanakan kegiatan di hotel sembari berpesta dengan penuh tawa merupakan prilaku kemungkaran yang bertentangan dengan semangat ajaran tanggung jawab sosial dalam Islam.

Hal utama yang juga penting—selain akhlaq sosial—dalam ber-Islam secara kontekstual di Indonesia adalah pengembangan aspek muamalah. “Mengunyah-ngunyah” pikiran lama yang berkait dengan furu’iyah seperti masalah qunut, takbir ‘idain, tasyahud dalam qiyamu lail, persentuhan antara laki dan perempuan setelah berwudhu dan fatwa-fatwa hukum sejenisnya, sudah seharusnya dikurangi. Ber-Islam yang seharusnya ditampilkan dalam konteks keindonesiaan adalah ber-Islam yang dapat menggiatkan pemberdayaan ekonomi umat, meningkatkan etos kerja dan ber-Islam yang dapat menjaga kelestarian alam dan keseimbangan lingkungan. Ber-Islam yang dapat mengawal jalannya ekonomi, politik dan ekologi melalui etika, moralitas dan akhlaq al-karimah (kejujuran, ketulusan, kerendahan hati, keramahan dan kedermawanan). Ber-Islam secara kontekstual di Indonesia, juga seharusnya, mengurangi urusan bid’ah-membid’ahkan, kafir-mengkafirkan, dan segala hal yang bernuansa caci-maki, kebencian, dan permusuhan atas nama agama. Ber-Islam yang harus ditampilkan adalah ber-Islam yang memperkuat ukhuwah dan kerjasama untuk pengkhidmatan kemanusiaan. Ber-Islam untuk mengobati yang sakit, memberi makan yang lapar, memberi minum yang haus, menyantuni pengemis, meneduhkan mereka yang kehujanan dan kepanasan, serta menegarkan kembali mereka yang kehilangan keluarga, rumah dan harta benda.

Berdasarkan pemikiran di atas, dapat disimpulkan bahwa ber-Islam secara kontekstual di Indonesia merupakan suatu tuntutan kebutuhan intelektual dan praksis keagamaan. Dalam realisasinya, ber-Islam secara kontekstual ini memerlukan suatu rancangan teologi baru. Yaitu, cara pandang keagamaan yang lebih menekankan pada penajaman akhlaq sosial dan pengembangan aspek muamalah. Ber-Islam secara kontekstual semacam ini, perlu mengurangi pembicaraan agama dalam wilayah akidah dan ibadah yang bersifat individual. Apalagi yang hanya sekedar pembelaan diri dan kelompok atas nama agama atau akidah yang benar. Sebaliknya, ber-Islam secara kontekstual harus lebih mengedepankan pembelaan atas nama agama dan akidah yang benar terhadap kepentingan publik. Allahu a’lam.

ISLAM SEBAGAI IDEOLOGI SOSIAL

Oleh : Hendar Riyadi


Kaya dan miskin memang bukan hal yang aneh. Ini telah menjadi hukum sosial yang bersifat universal. Di mana-mana, di seluruh penjuru dunia ada yang miskin dan ada yang kaya. Hanya yang mengherankan adalah bila banyak orang kaya yang terbiasa dan tidak malu-malu berganti-ganti kendaraan mewah, punya tempat tinggal yang megah dan punya uang bermilyar-milyar, sementara orang miskin semakin menderita, kekurangan gizi dan kelaparan. Bila mereka yang kaya berasyik-ria menghambur-hamburkan uang untuk iklan citra keegoan diri atau shopping (belanja) di mall-mall besar dan menyantap makanan di kelas berbintang, sementara mereka yang miskin harus terpaksa menahan rasa lapar, kepanasan dan kedinginan.

Ini mungkin juga agak tidak mengherankan karena memang telah menjadi pemandangan umum. Tetapi, yang lebih mengherankan lagi adalah bila orang kaya tersebut adalah orang beragama yang percaya Tuhan dan membenarkan adanya kehidupan hari kemudian. Ini tentu sangat mengherankan, sebab bagaimana mungkin orang beragama bisa melakukan penindasan terhadap kaum lemah, misalnya antara lain, dalam bentuk ketidakpekaan dan ketidakpedulian terhadap penderitaan anak-anak yatim dan orang-orang miskin yang kekurangan gizi dan busung lapar, padahal itu merupakan inti ajaran agamanya. Tetapi, itulah kenyataan. Banyak orang kaya beragama, tetapi mereka tidak memiliki kepekaan dan kepedulian terhadap keberadaan kaum lemah, miskin dan tertindas. Karena itu, sangat mengherankan di tengah belasan ribu tangis anak busung lapar dan kekurangan gizi, mereka asyik memamerkan kekayaan, belanja di mall-mall besar, pesta-pesta dan makan-makan menikmati hidangan mewah sambil tertawa-tawa. Mereka merasa cukup dengan kesalehannya setelah ziarah (tour) ke tanah suci dengan paket haji plus yang sangat mewah, serta mengikuti training-training spiritual, training ma'rifat serta pelatihan shalat khusu' di hotel berbintang atau setelah mengeluarkan zakat dan infaq ala kadarnya.

Konon realitas masyarakat seperti itulah yang menjadi alasan turunnya Al-Quran surat al-Ma’un. Surat al-Ma’un ini berisi kecaman terhadap orang beragama yang tidak memiliki kepekaan sosial (sense of social responsbility). Muhammad Abduh menyebutkan bahwa banyak orang yang hidup pada zaman Nabi, mereka percaya kepada agama, membenarkan adanya Tuhan, beriman kepada ajaran yang dibawa oleh para rasul dan kepada kehidupan akhirat, namun mereka memperlihatkan sikap menindas terhadap kaum lemah dan tidak melakukan kebaikan yang dapat dirasakan oleh kaum miskin. Mereka juga merasa cukup dengan melaksanakan sejumlah ritual seperti shalat—yang pelaksanaannya tidak mengurangi harta dan menguras tenaga—namun mereka justru semakin menjauh dari inti ajaran agamanya, yakni keberpihakan dan pembelaan terhadap kaum lemah, miskin dan tertindas (Muhammad Abduh, 1999: 329-330).

Lebih lanjut Abduh menjelaskan bahwa surat al-Ma'un tersebut menyebut dua kategori karakter manusia beragama, yaitu mereka yang membenarkan agama dan yang mendustakannya. Menurutnya, karakter orang yang membenarkan agama adalah bercirikan keadilan, kasih sayang dan kebajikan kepada manusia. Sedangkan karakter dari pendusta agama bercirikan pelecehan terhadap hak-hak kaum dhu'afa, ketidakpedulian terhadap penderitaan orang-orang yang terdesak oleh kebutuhannya, kecintaan berlebihan kepada harta yang mendorong kepada egoisme, keangkuhan diri dengan kekuatan dan kekuasaan yang dimiliki, serta keengganan memberikan suatu kebajikan kepada mereka yang berhak menerimanya.

Doktrin Sosial Islam
Spirit teologi atau semangat ajaran al-Ma'un di atas adalah keharusan untuk menegakkan keadilan, kasih sayang dan kebajikan kepada manusia. Khususnya dalam melakukan pemihakan dan pembelaan kepada kaum dhu'afa, terutama anak-anak yatim, orang-orang miskin dan mereka yang terdesak kebutuhan. Spirit teologi al-Ma'un ini memperoleh pembenaran yang kuat dari gagasan sosial Islam tentang pembelaan kaum dhu'afa. Hal ini setidaknya digambarkan oleh Al-Quran dalam empat aspek berikut:
Pertama, gagasan sosial Islam mengenai kedudukan kaum dhu'afa. Islam secara tegas memandang kedudukan penting kaum lemah sebagai pemimpin dan pewaris bumi (QS. Al-Qashash [28]: 5). Kedua, Islam memandang suatu kepentingan dan keharusan untuk berpihak, melakukan pembelaan, dan memperjuangkan kaum lemah yang tertindas (QS. Al-Nisa’ [4]: 75). Ketiga, Islam sejak awal melontarkan kritik sosial terhadap berbagai bentuk eksploitasi kaum miskin serta ketiadaan rasa tanggung jawab sosial seperti tergambar dalam surat-surat awal Al-Quran. Al-Quran surat al-Humazah [104]: 1-3 misalnya, mengingatkan dengan keras mereka yang serakah dan telenges dalam menghimpun kekayaan dan mengangap kekayaannya tersebut dapat mengabadikannya. Lalu dalam surat berikutnya, al-Takatsur [102]: 1-2, Al-Quran juga memberikan peringatan keras terhadap orang-orang yang suka menghimpun kekayaan dan kemewahan atas dasar etika keserakahan. Sementara dalam surah al-Balad [90]: 11-16, Al-Quran menyinggung keengganan manusia untuk memberikan bantuan kepada sesamanya yang hidup dalam penderitaan dan kesengsaraan. Lebih lanjut, Al-Quran dalam surat al-Fajr [89]: 17-20 mengecam orang yang rakus mencintai kekayaan secara berlebihan, tidak memuliakan anak yatim dan tidak saling mengajak untuk memberi orang miskin. Surat-surat awal ini, secara jelas menunjukkan kecamannya terhadap praktek akumulasi kekayaan yang diperoleh melalui etika keserakahan, serta sikap eksploitasi sosial-ekonomi dalam bentuk ketidakpedulian terhadap penderitaan anak-anak yatim dan orang-orang miskin. Keempat, Islam mengecam bentuk pembangunan yang meninggalkan atau mewarisi generasi yang lemah (QS. Al-Nisa’ [4]: 9).

Spirit teologi al-Ma'un juga memperoleh pembenaran yang signifikan dari ajaran fundamental Islam itu sendiri, yaitu tauhid. Dalam padangan dunia Islam, doktrin tauhid sebagaimana dikemukakan Asghor Ali Engineer, tidak hanya mempunyai konsekwensi religius, tapi juga mempunyai implikasi sosial-ekonomi (M. Agus Nuryatno, 2001: 41-42). Artinya, kesadaran tauhid yang mendalam seharusnya melahirkan kehidupan yang penuh moral dalam aspek sosio-ekonomi dan bahkan sosio-politiknya. Hal yang sama dikemukakan oleh Ali Syari’ati bahwa tauhid dalam Islam merupakan suatu pandangan dunia yang hidup dan penuh makna, menentang keserakahan dan bertujuan memberantas penyakit yang muncul dari penumpukan uang dan penyembahan harta. Ia menghapus stigma eksploitasi, konsumerisme, dan aristokrasi (Farid Esack, 2000: 128-129). Dalam pemahaman ini, dapat disimpulan bahwa doktrin tauhid dalam Islam, selalu terkait dengan prinsip kemanusiaan, rasa keadilan sosial dan ekonomi. Inilah konsepsi tauhid sosial yang memperkuat visi teologi al-Ma'un. Konsepsi tauhid sosial ini dapat menjadi landasan gerakan keberpihakan dan pembelaan kaum dhu'afa dalam konsteks diskriminasi dan marjinalisasi secara sosial-politik.

Ajaran fundamental Islam lainnya yang juga memberikan pembenaran atas spirit teologi al-Ma'un di atas adalah doktrin jihad. Dalam Islam, jihad bukanlah ‘perang suci’ untuk mengislamkan kaum kafir (M. Quraish Shihab, 1992: 517) seperti yang salah dipahami oleh Barat. Sebab, Al-Quran mengutuk semua peperangan sebagai hal yang menjijikkan, dan hanya mengizinkan peperangan untuk mempertahankan diri (QS. al-Hajj [22]: 39-40). Bahkan menurut Armstrong, kemenangan perjuangan Nabi Muhammad, bukanlah dengan pedang, melainkan dengan menggunakan kebijakan anti kekerasan yang kreatif dan jujur (Karen Armstrong, 2001: 385.

Jihad dalam Islam sesungguhnya lebih merupakan perjuangan dan praksis (Farid Esack, 2000: 145), terutama dalam melindungi kepentingan orang yang tertindas dan lemah, atau untuk mempertahankan diri dari serangan musuh (Asghor Ali Engineer, 2000: 9). Karena itu, dalam perspektif spirit teologi al-Ma'un, jihad dapat menjadi landasan teologis, sekaligus landasan kerja dalam melakukan pembelaan terhadap kaum papa, lemah, miskin dan tertindas untuk menciptakan struktur sosial yang lebih humanis, egaliter dan berkeadilan. Sebab, keadilan tidak akan tercipta tanpa membebaskan golongan masyarakat lemah dan marjinal dari penderitaan (Asghor Ali Engineer, 2000: 33).

Ideologi Sosial
Spirit teologi al-Ma'un di atas, tentu menuntut pemahaman agama yang dinamis dan transformatif. Dalam bahasa lain, agama seharusnya tidak sekedar diimani dan difahami sebagai simbol bisu, apalagi acuh terhadap kemungkaran sosial yang terus berlangsung. Agama (Islam), meminjam ungkapan Ali Syari’ati, seorang mujtahid intelektual asal Iran, harus dipahami sebagai sebuah idiologi. Yaitu, sebagai sebuah ide, suatu gerakan kemanusiaan, gerakan historis dan gerakan intelektual. Bukan sekedar dipahami sebagai sebuah kebudayaan, yakni sekumpulan teologis, interpretatif dan historis (Ali Syari’ati, 1995: 18). Sebab, tanpa pemahaman idiologis seperti itu, Islam akan kehilangan makna, kemampuan dan kekuatannya dalam menciptakan gerakan, komitmen, tanggung jawab dan kesadaran sosialnya. Dalam ungkapan Abdurrahman Wahid, Islam akan hanya menjadi agama ibadah dan fiqhiyah dalam arti sempit dan terbatas, bukan lagi agama pemikiran, agama keadilan dan sekaligus agama kesejahteraan (Hassan Hanafi, 991).

Oleh karena itu, agama semestinya mengambil prakarsa untuk mempertanyakan berbagai ketidakadilan dan ketimpangan sosial yang terjadi. Lebih dari itu, agama juga dituntut untuk menanamkan kesalehan transformatif dengan ikut terlibat dalam mewujudkan masyarakat yang berkeadaban. Suatu masyarakat yang terbebas dari praktek eksploitasi, pemiskinan, marginalisasi dan dehumanisasi. Jika agama telah menjadi ideologi sosial dan dapat mengambil prakarsa dalam mempertanyakan berbagai ketidakadilan dan ketimpangan sosial yang terjadi, serta telah menciptakan kesalehan transformatif di level umat, maka agama akan selalu menjadi kekuatan sosial, budaya, politik, ekonomi bahkan kekuatan peradaban serta menjadi idiologi modern yang hidup.

Dengan demikian, semestinyalah agama dapat menghambat lajunya kenyataan orang-orang miskin yang semakin termiskinkan dan dimiskinkan. Mengurangi rumah-rumah pinggiran yang tergusur. Menipiskan jumlah pengangguran, anak-anak jalanan dan anak-anak yang putus sekolah, serta gelandangan dan para pengemis yang semakin hari semakin tak terhitung. Agama juga semestinyalah dapat mengurangi jumlah bayi-bayi yang kekurangan gizi dan busung lapar. Mempermudah petani untuk membeli pupuk dan mempermudah mahasiswa yang dipusingkan dengan mahalnya biaya kuliah. Lebih dari itu, agama semestinya dapat menyetop ritual tahunan tentang antrian masyarakat yang berjejal memperebutkan zakat fitrah dan kantong kecil daging kurban. Bukankah Rasul telah mengajarkan agama sebagai idiologi sosial ini dalam pernyataannya abghûni dhu'afâakum fa innakum turzaqûna wa tunsharûna bi dhu'afâ`ikum (cari dan bantulah kaum dhua'fa di sekitarmu, karena engkau diberi rezeki dan ditolong karena [berkah do'a] mereka). Wallahu a'lam.