Sabtu, 01 Mei 2010

KEARIFAN DALAM BERAGAMA

Oleh : Hendar Riyadi


“Agama adalah sebuah alat atau kendaraan untuk mendekati kebenaran. Bagi mereka yang berfikir dangkal, alat selalu menjadi tujuan dan kendaraan menjadi berhala. Hanya orang-orang yang bijak, bukan orang yang beragama atau berpengetahuan yang dapat membuat kendaraan itu bergerak lagi”(Farid al-din Attar)


Dalam konstruksi pemikiran keagamaan keislaman, baik klasik maupun kontemporer, kita sering menyaksikan upaya pengsakralan agama (taqdis al-diny) atau mungkin lebih tepatnya pensakralan pemikiran keagamaan (taqdîs afkâr al-dînî) sebagai hasil produk penafsiran atas wahyu melebihi pengsakralan wahyu itu sendiri. Agama dipandang seolah-olah kehendak atau keridhaan Tuhan. Padahal siapa yang dapat menjamin bahwa agamanya (pemahaman dan interpretasi atas wahyu) sesuai dengan kehendak dan keridhaan-Nya. Jika pada tingkat mode of knowing ada semacam klaim kebenaran (truth claim) atas agama (pemahaman teks wahyu), maka pada tingkat aksional klaim kebenaran tersebut termanifestasi dalam bentuk aksi saling menyalahkan, kekerasan fisik, hingga saling mengkafirkan seolah-olah surga itu monopoli milik sendiri atau kelompoknya, sementara orang atau kelompok lain tidak berhak mendapatkannya. Bahkan yang lebih tragis lagi adalah adanya aksi atas nama agama atau Tuhan (seolah-olah mendapat legitimasi dan ridha Tuhan), mereka saling mencaci, menyerang dan membunuh sesamanya. Kecenderungan demikian jelas bukan saja akan menghambat perkembangan demokrasi, kebebasan dan kedewasaan dalam beragama, tapi juga secara sosiologis akan melonggarkan sendi-sendi perekat ummat serta mengancam eksistensi kemanusiaan dan kelangsungan kehidupan keagamaan itu sendiri.

Ungkapan Farid al-din Attar di atas menegaskan bahwa agama bukanlah merupakan suatu tujuan, melainkan hanyalah sebuah alat atau kendaraan untuk mencapai tujuan, yaitu perkenan (ridha) Tuhan. Karena itu, nama lain dari agama adalah syari’at, yakni jalan menuju sumber mata air. Jadi agama (syari’at) hanyalah sebuah jalan (alat atau kendaraan) untuk sampai kepada sumber mata air (keridhaan Allah) yang merupakan tujuan akhir. Sebagai sebuah alat atau kendaraan, agama dapat saja menyelamatkan (mengantarkan kepada kebenaran dan perkenan Tuhan), juga dapat membahayakan (menjadi berhala dan tidak mengantarkan kepada kebenaran). Tergantung siapa yang menggunakan alat atau yang menggerakkan kendaraan agama tersebut. Adanya bentuk politisasi transendental (ta’yis al-muta’âli) dan transendentalisasi politik (ta’âli al-siyâsah) (menggunakan agama untuk kepentingan kekuasaan) dalam sejarah yang telah melahirkan berbagai kekerasan atas nama agama, merupakan bukti destruktif atau membahayakannya agama—sekalipun di tangan orang yang beragama atau berpengetahuan.

Berdasar pemahaman di atas, dapat disimpulkan bahwa agama berbeda dengan wahyu. Agama lebih merupakan pemahaman atau penafsiran atas teks wahyu—bersifat profan—sedangkan wahyu adalah teks itu sendiri (kalâm atau firman Tuhan) yang bersifat sakral dan trans-historis. Oleh karena itu, pemikiran keagamaan dalam Islam selalu mengidentikan agama dengan fiqh. Sebagaimana kita ketahui bahwa fiqh merupakan produk pemikiran yang sifatnya rasional empiris karena memadukan antara pemahaman wahyu secara rasional dengan pemahaman atas kenyataan atau realitas empiris. Hal ini dapat dipahami misalnya, mengenai konstruksi pembidangan agama dalam pemikiran keagamaan yang membagi agama menjadi empat bidang atau wilayah keagamaan, yaitu wilayah akidah, ibadah, akhlak dan mu’amalah. Pembidangan agama tersebut jelas fiqh (produk pemikiran atau pemahaman atas teks wahyu). Sebab wahyu sendiri tidak menjelaskan secara rinci pembidangan agama seperti di atas. Sehingga agama bidang akidah disebut fiqh akidah; agama bidang ibadah disebut fiqh ibadah; agama bidang akhlak disebut fqh akhlak dan demikian pula agama bidang mu’amalah disebut fiqh mu’amalah.

Pembedaan antara agama (fiqh) dan wahyu ini merupakan paradigma atau pandangan dasar yang sangat penting untuk lebih menjelaskan bahwa pemahaman keagamaan tidak lantas secara otomatis menunjukan (sesuai) kehendak atau keridhaan Tuhan. Ini sekali lagi penting sebab paradigma tersebut memberikan implikasi yang luas, baik dalam dimensi mode of knowing atau cara pandang keagamaan (implikasi metodologis, manhaji) maupun pada dimensi praktis aksional (implikasi aksiologis). Disini, sekali lagi, agama berbeda dengan keridhaan atau perkenan Tuhan sebagaimana berbedanya alat, kendaraan atau jalan dengan tujuan.

Namun terkadang dalam kehidupan beragama, kita sering menempatkan agama secara salah (tidak proporsional). Agama menjadi segala-galanya (dianggap sebagai tujuan akhir) di atas keridhaan Tuhan sendiri. Agama memang bersumber pada wahyu Allah yang kebenarannya bersifat mutlak (qath’iy al-wurûd), tetapi pemahaman (rumusan interpretatif) atas wahyu tersebut bersifat relatif (zhanny al-dilâlah). Sebab, agama atau produk pemikiran keagamaan, bukan semata refleksi atas dunia teks (wahyu) yang bersifat statis, tetapi, ia merupakan konstruksi aktif dari penafsir itu sendiri. Jika argumen ini diterima, maka setiap penafsiran akan selalu bersifat subyektif. Hal ini didasarkan beberapa alasan.

Pertama, watak teks wahyu itu sendiri yang mengandung pluralitas makna (al-wujuh wa al-nazha`ir) dan tidak tertutup pada interpretasi tunggal. Dalam studi teori interpretasi kontemporer ketika wahyu bergeser dari wacana lisan dan dibakukan dalam bentuk teks tertulis (mushhaf), maka terjadi distansi (jarak) antara teks dan pengarang. Artinya, pemahaman atau penafsiran teks wahyu terlepas dari maksud pengarang. Ketika wahyu menjadi sebuah teks, maka ia memiliki “otonomi semantik” yang dapat berbicara sendiri dan mengungkapkan makna melalui struktur linguistiknya. Karenanya, pembaca atau penafsir teks wahyu dapat mengartikan dan menafsirkan teks tersebut terlepas dari maksud pengarangnya (Tuhan/Nabi). Tetapi, tidak berarti bahwa pengartian atau penafsiran teks wahyu menjadi bebas sama sekali, tanpa ada kontrol. Dalam konteks ini, yang mengontrol penafsiran adalah struktur linguistis teks yang diciptakan oleh pengarang itu sendiri.

Distansi juga terjadi antara teks wahyu dengan konteks pengarang pertama dimana wahyu diturunkan. Karena itu, pengartian atau penafsiran terhadap teks wahyu dapat terlepas dari konteks nuzûl-nya. Pembaca atau penafsir dapat melakukan dekontekstualisasi dan membuat kontekstualisasi baru (rekontekstualisasi). Dengan demikian, wahyu sebagai teks akan selalu memungkinkan menciptakan “dunia makna baru” dan meninggalkan “dunia makna lama”—meskipun makna lama masih berlaku dalam konteks tertentu—yang dimaksud oleh pengarangnya, apabila dilakukan pembacaan oleh pembaca yang baru.

Selain itu, ketika wahyu dibakukan dalam bentuk tulisan, maka terjadi distansi antara teks wahyu dengan pendengar pertama. Pada saat Al-Quran diwahyukan secara lisan, yang terjadi adalah kontak langsung antara Tuhan (sebagai pembicara) dan Nabi-Nya (sebagai penerima pertama), serta antara penerima pertama (Nabi) dengan sahabat dan lawan-lawannya. Di sini ungkapan pengujaran terdiri antara “kami” dan “kamu” atau “aku” dan “kamu”, atau kami, kamu dan mereka. Tetapi, ketika wacana pewahyuan secara lisan dibakukan dalam bentuk teks tertulis, maka “aku” dan “kamu” menghilang, dan berganti menjadi pendengar yang universal, lalu terjadilah universalisasi pendengar.

Distansi antara teks-pengarang, teks-konteks pertama dan antara teks-pendengar pertama inilah yang menyebabkan banyaknya tafsir terhadap teks-teks wahyu. Dengan kata lain, pengartian atau penafsiran teks wahyu akan selalu bermunculan, begitu terjadi kegiatan interpretasi oleh pembaca-pembaca yang baru. Interpretasi-interpretasi baru tersebut, memunculkan arti-arti dan penafsiran-penafsiran baru, sehingga terjadilah multiformitas penafsiran dan relativitas pemahaman atasnya.

Kedua, subyektivitas penafsiran terjadi karena keterikatan penafsir pada ruang dan waktu. Kita tahu bahwa penafsir (mujtahid) pada saat menafsir teks wahyu sangat terikat oleh ruang dan waktu (konteks psikio-sosio-kultural) yang melatarbelakangi penafsirannya tersebut. Dan kita tahu bahwa keterikatan pada dimensi ruang dan waktu dapat menimbulkan bias pada penafsiran. Hal ini, mengikuti pandangan Heidegger dan Gadamer bahwa semua pengalaman memahami atau menafsirkan selalu menyertakan suatu pra-anggapan (cakrawala pemahaman awal atau prasangka, vorurteile) dari penafsir yang melakukan pemahaman. Setiap penafsir tidak bekerja dengan tangan yang sebelumnya kosong, tetapi sejak awal ia membawa sesuatu yang ia miliki (vorhabe), sesuatu yang ia lihat (vorsicht) dan sesuatu yang akan menjadi konsepnya kemudian (vorgriff). Karena itu, setiap pemahaman atau penafsiran atas agama akan bersifat subyektif dan relatif. Contoh sederhana misalnya, penafsiran atas teks politik (berbicara mengenai karakteristik kepemimpinan). Seorang penafsir yang mendukung pada calon presiden (capres) tertentu, ia akan menafsir teks kepemimpinan tersebut, sesuai dengan kapabelitas yang dimiliki oleh calon presidennya. Atau, ketika situasi sosial, politik, ekonomi dan perkembangan ilmu pengetahuan mengalami perubahan, maka penafsiran atas teks wahyu selalu menyesuaikan dengan perubahan tersebut. Itulah sebabnya, penafsiran akan selalu bersifat dinamis-relatif, sejalan dengan konteks sosial dan kultural yang berkembang.

Ketiga, setiap penafsiran akan bersifat subyektif dikarenakan adanya perbedaan cara pandang keagamaan, baik yang bersifat teologis maupun filosofis. Misalnya, pandangan yang berbeda mengenai teks kitab suci antara kalangan fundamentalis dan liberal. Bagi kalangan fundamenmetalis, kitab suci Al-Quran dipandang sebagai kalâm Allah yang bersifat sakral dan meta-historis (fauqa tarikh). Pandangan ini sama sekali berbeda dengan kalangan liberal yang memandang Al-Quran sebagai "produk budaya" atau "wacana sejarah" dan karena itu bersifat historis. Menurut kalangan liberal, meskipun Al-Quran merupakan Kalâm Allah yang bersifat meta-historis, tetapi ia telah memasuki proses pewahyuan—mengalami interaksi dialektis dengan realitas budaya—dan dalam proses pewahyuannya, Al-Quran juga menggunakan bahasa Arab yang bersifat kultural dan lokal-partikular. Secara filosofis, kalangan fundamentalis ini menentang terhadap penggunaan metode kritis dalam memahami teks kitab suci. Hal ini sejalan dengan pandangan teologisnya, bahwa Al-Quran merupakan kalâm Allah yang sakral-meta-historis, dan oleh karena itu, tidak dapat didekati melalui studi kritik-historis yang bersifat manusiawi. Kalangan fundamentalis menolak pendekatan ilmiah dan filosofis seperti hermeneutik. Suatu pandangan yang berbeda dengan kalangan liberal yang menyatakan bahwa karena Al-Quran bersifat historis, maka Al-Quran harus tunduk pada norma-norma kesejarahan manusia. Karena itu, pendekatan yang digunakan adalah tidak semata teologis atau keimanan, melainkan juga diperlukan pendekatan nalar rasional dan pendekatan ilmiah (logika keilmuan), terutama ilmu humaniora (bahasa, filsafat, hermeneutik, arkeologi) dan ilmu-ilmu sosial (sejarah, psikologi, sosiologi dan, antropologi). Perbedaan cara pandang tersebut melahirkan produk penafsiran yang berbeda anatar kedunya. Misalnya, keduanya berbeda dalam penafsiran teks-teks yang berkait dengan masalah pluralisme agama, teks gender (kepemimpinan, poligini dan hak waris perempuan), masalah hak asasi manusia (HAM), demokrasi dan teks-teks lainnya.

Mengingat relativitas agama atau pemikiran kagamaan itulah, maka diperlukan kearifan dalam beragama. Tidak bersikap binner opposition atau langsung menghukumi hitam-putih, halal-haram, sunnah-bid’ah, mukmin-kafir dan sebagainya, tanpa terlebih dahulu melakukan kritik epistemologi terhadap pola penalarannya. Sebab, sebagaimana telah dikemukakan bahwa setiap penafsiran atas wahyu atau teks kitab suci merupakan produk pemikiran yang selalu bersifat hipothetical (zhanniyah). Kebenaran bukanlah milik perseorangan atau kelompok (datang dari satu sumber), melainkan milik semua orang dan semua kelompok (datang dari banyak sumber). Karena itu, tidak ada kebenaran maksimal, tetapi yang ada adalah kebenaran minimal. Dalam konteks ini, perlu dipertimbangkan semangat kearifan para mujatahid awal, bahwa sekalipun pandangan kita itu benar, tetapi harus diasumsikan mengandung suatu kesalahan. Sebaliknya, sekalipun pandangan orang lain itu salah, tetapi harus diasumsikan mengandung suatu kebenaran “ra’yunâ shawwâb yahtamilu al-khatha’, wa ra’yu ghairina khatha’ûn yahtamilu as-shawwâb” (pendapat kami adalah benar, tetapi menyimpan kesalahan dan pendapat selain kami adalah salah, tetapi menyimpan kebenaran).

Tidak ada komentar: