Jumat, 07 Mei 2010

BERPIKIR MULTIKULTURAL

Oleh : Hendar Riyadi


Multikulturalisme tidak ekslusif Amerika. Multikulturalisme telah muncul sebagai sebuah isu kebijakan publik di Belanda, Inggris, Kanada, dan beberapa negara lain. Namun demikian, multikulturalisme muncul sebagai gelombang kedua dari gerakan hak-hak sipil yang membentuk masyarakat Amerika selama tahun 1950-an dan tahun 1960-an. Teori multikulturalisme ini berkembang sebagai kelanjutan dari teori feminisme dan postmodernisme (George Ritzer, 2005: 322-326). Menurut Ben Agger, multikulturalisme adalah versi paling politis dari gerakan pemikiran postmodernisme Amerika. Ada beberapa teori postmodernisme yang dikembangkan dalam konsep multikulturalisme, yaitu antara lain, konsep penolakan atas narasi besar dan esensialisme. Teori lain yang dikembangkan oleh multikulturalisme adalah terori perbedaan (difference) Jacques Derrida dan teori tubuh Michael Foucault.

Secara konsep, multikulturalisme merupakan cara berpikir atau faham tentang banyak budaya. Dalam tradisi sosiologis, multikulturalisme ini didefinisikan sebagai gerakan sosial intelektual yang mempromosikan dan memperjuangkan nilai-nilai keanekaragaman sebagai suatu prinsip dasar (Rosemarie Putnam Tong, tt.: 312). Secara sederhana, multikulturalisme diperkenalkan sebagai cara berpikir yang mendukung keanekaragaman. Multikulturalisme menuntut semua kelompok kebudayaan harus diperlakukan secara setara, dengan penuh penghargaan dan penghormatan. Multikulturalisme mengajak semua orang untuk menghormati keanekaragaman budaya, agama, komunitas etnik dan kelompok¬-kelompok lainnya dalam masyarakat.

Berbeda dengan pandangan teologis yang lebih menekankan pemahaman atas keanekaragaman dari sisi benar atau salah menurut (akidah) agama, multikulturalisme lebih mendekatinya dari perspektif (antropologi) kebudayaan. Dengan kata lain, multikulturalisme tidak memahami keanekaragaman dari segi bahwa semua budaya, etnik, bahasa dan agama memiliki kebenaran yang sama, melainkan memahaminya dari aspek penghormatan kepada kemanusiaan, bahwa setiap manusia adalah setara. Karena itu, multikulturalisme mengajak semua orang untuk menghormati dan mengakui pihak lain yang berbeda secara budaya, etnik, bahasa dan agama sebagai sama-sama manusia—bukan karena kebenaran atau keunggulan budaya, etnik, bahasa dan agama tertentu.

Pandangan multikulturalisme di atas, didasarkan pada gagasan kesetaraan martabat (dignity) manusia seperti yang dikembangkan oleh Jacques Rousseau dan Immanuel Kant. Baik Rosse maupun Kant, sama-sama memandang bahwa hakikat dasar manusia adalah sama. Harkat dan martabat manusia adalah setara tanpa kecuali, atas dasar bahwa ia tercipta dengan karakter kemanusiaan asasi yang sama. Pemikiran tentang kesetaraan (equlity) harkat kemanusiaan ini, setidaknya mengandung tiga bentuk pemaknaan, yaitu pertama, keyakinan bahwa manusia adalah setara secara sosial dan politik. Keyakinan ini berpijak pada alasan bahwa manusia sebagai individu memiliki kesamaan karakter asasi, khususnya dalam hal rasio, jiwa, dan rasa moral. Kedua, pandangan bahwa setiap orang harus diperlakukan dengan pertimbangan dan perhatian yang sama dalam menerima perlakuan hukum dan kesempatan untuk pemenuhan kebutuhan manusiawi. Ketiga, kesetaraan harkat martabat kemanusiaan mengandung makna tidak dibenarkan bersikap diskriminatif terhadap semua orang berdasarkan ras, agama, jenis kelamin, status, kekayaan, kepintaran, kemampuan fisik dan lain-¬lain.

Gagasan di atas, sejalan dengan visi kesetaraan (equalitas) dalam Islam. Menurut Al-Thabari (1995: 399), ketika menafsirkan teks “inna akramakum ‘inda al-Allâhi atqâkum” (QS. Al-Hujurat [49]: 13), mengemukakan bahwa yang termulia di antara kamu dihadapan Tuhan adalah orang yang paling giat dalam menjalankan perintah Tuhannya dan menghindari segala larangan-Nya, bukan orang yang memiliki keluarga termulia dan kerabat terbanyak. Al-Thabari kemudian mengutif hadits bahwa “Manusia adalah keturunan Adam dan Hawa, seakan-akan mereka keluar dari satu cetakan (ka thaf al-sha’lam yamla’ûhu). Pada hari kiamat, Tuhan tidak akan bertanya tentang jasad dan keturunanmu, orang termulia di antara kamu dihadapan Tuhan adalah yang paling taqwâ.
Penjelasan al-Thabari ini menunjukan tidak ada perbedaan antara manusia. Semua manusia adalah setara, hanya ketaqwaannyalah yang membedakan kualitas kemanusiaannya. Senada dengan al-Thabari, Thabaththaba’i (tt.: 330), menyebutkan bahwa teks QS. Al-Hurat [49: 13) di atas menunjukkan secara mutlak tidak adanya keutamaan kelas (thabaqat) antara putih dan hitam, orang Arab dan azam atau non Arab (pribumi dan non pribumi), antara kaya dan miskin, merdeka dan budak (hamba sahaya) serta laki-laki dan perempuan. Pemahaman ini, sejalan dengan pernyataan Nabi dalam sabdanya: “Wahai manusia, ingatlah sesungguhnya Tuhan kamu satu dan bapak kamu satu. Ingatlah tidak ada keutamaan orang Arab atas orang bukan Arab, orang hitam atas orang berwarna, orang berwarna atas orang hitam, kecuali karena taqwâ-nya” (HR. Ahmad).

Berpijak pada pemikiran tentang kesetaraan harkat martabat manusia di atas, multikulturalisme memandang bahwa setiap manusia memiliki kedudukan yang setara dan hak-hak yang sama dalam mengekspresikan dan mengembangkan kebudayaanya, sesuai dengan keyakinan, pilihan etos dan etis, serta pandangan dunianya. Karena itu, multikulturalisme mengajak semua individu untuk menghormati dan memelihara eksistensi sesamanya tanpa kecuali, selama individu tersebut memenuhi kriteria karakter asasi kemanusiannya. Multikulturalisme menolak segala bentuk perlakuan berbeda (discrimination) atas dalih apapun, baik karena alasan ras, agama, jenis kelamin, status, kekayaan, kepintaran, maupun kemampuan fisik dan sebagainya. Atas dasar ini, multikulturalisme memberikan perhatian utama pada empat tema besar masalah keanekaragaman, yaitu pertama, masalah pemeliharaan identitas kelampok; kedua, masalah distribusi kekuasaan dalam masyarakat diskriminatif; ketiga, peran masyarakat marginal; dan keempat, masalah toleransi dalam konteks keanekaragaman budaya dan agama.

Berpikir multikultural berarti menjadikan hidup dalam perbedaan sebagai pilihan yang tidak bisa ditawar-tawar. Setiap komunitas dalam masyarakat selalu memiliki identitas, baik berupa keyakinan, kepercayaan, pandangan hidup maupun tradisinya masing-masing. Identitas ini memberikan stabilitas sosial serta status harga diri, martabat, dan kebanggaan terhadap setiap kelompok sosial tersebut. Oleh karena itu, jika identitas ini terganggu atau tidak dihormati, maka status sosial, stabilitas dan keberadaan pemeluknya akan terancam. Apabila status sosial, stabilitas dan keberadaannya terancam, maka ketegangan, perpecahan dan konflik tidak akan dapat dihindarkan. Inilah salah satu masalah utama yang dihadapai masyarakat multikultural. Jika kebinekaan atau keanekaragaman budaya tersebut tidak dibina secara baik, kondusif dan konstruktif, maka akan terjadi berbagai ketegangan psikologis, sosial, politik dan bahkan benturan peradaban. Konflik yang terjadi antara Israel dengan Palestina, Amerika dengan Irak, Rusia dengan Chechnya serta Bosnia dengan Serbia, merupakan contoh tidak terbinanya realitas kemajemukan budaya di tingkat antarbangsa.

Di Indonesia sendiri, ketegangan antara kaum Muslim dan kaum Kristiani di beberapa daerah yang potensial terjadinya konflik seperti Ambon, ketegangan antara suku Dayak dan Madura di Sampit, serta ketegangan antara Pribumi dan Tionhoa di berbagai kota, masih menjadi ancaman dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Selain itu, kerawanan akan terjadinya konflik di kalangan intraumat beragama dan beberapa paguyuban budaya, juga masih menyimpan persoalan tersendiri dalam konteks masyarakat yang plural secara budaya, etnik dan agama. Kasus ketegangan antara kalangan mayoritas kaum Muslim yang diwakili MUI dengan aliran Ahmadiyah, Lia Aminudin dan Paguyuban Mahesa serta ketegangan antara organisasi keagamaan seperti Muhammadiyah-NU-Persis-¬FPI-Hijbu Tahrir di beberapa daerah, memberikan kesadaran yang mendalam akan rawannya konflik di tingkat intratumat beragama.

Mengingat kecenderungan di atas, maka berpikir multikultural mungkin sangat relevan untuk dipertimbangkan. Berpikir multikultural mungkin dapat dipertimbangkan sebagai alternatif dalam penciptaan keharmonisan budaya, integrasi nasional, sekaligus pengembangan demokrasi dalam masyarakat yang plural-religius dan plural-kultural, seperti di Indonesia.

Tidak ada komentar: