Minggu, 09 Mei 2010

BERPIKIR BAYANI, BURHANI DAN IRFANI

Oleh : Hendar Riyadi


Tradisi nalar Islam memperkenalkan tiga cara berpikir, yaitu bayâni, burhâni dan irfâni. Cara berpikir bayâni menitikberatkan pada pendekatan analisis kebahasaan (tekstual) atas nash-nash keagamaan (nushûsh al-dîniyat). Asumsinya adalah bahwa nash-nash keagamaan (Al-Quran dan Hadits) sepenuhnya tertulis dalam bentuk bahasa (teks), yaitu teks berbahasa Arab. Dalam studi teori interpretasi kontemporer, sebuah teks (nash), baik teks profan maupun teks suci (sacra) termasuk teks Al-Quran, dipandang memiliki “eksistensi otonom” atau otonomi semantik. Artinya, teks itu dapat “berbicara sendiri”, mengungkapkan makna dan kandungan isinya melalui sistem tanda yang dimiliki, terutama struktur bahasanya. Oleh karena itu, setiap pembaca atau penafsir dapat mengartikan dan menafsirkan teks tersebut, melalui pemahaman terhadap struktur bahasanya. Dalam konteks ini dapat dikatakan bahwa satu-satunya medium untuk menyingkap makna dan memahami nash-nash keagamaan adalah sistem tanda yang ada dalam struktur bahasa itu sendiri. Karena itu, cara berpikir bayâni dengan pendekatan analisis kebahasaan merupakan instrumen hermeneutis yang sangat penting.

Mengenai instrumen hermeneutis (analisis kebahasaan) yang satu ini, para ulama telah merumuskannya dengannya sangat kaya, mulai dari kaidah ketercakupan makna lafadz seperti ‘am-khash dan mutlaq-muqayyad; kaidah penggunaan lafadz seperti haqiqi-majazi dan sharih-kinayah, kaidah penunjukan lafadz terhadap makna seperti zhahir-khafi, nash-musykil, mujmal-mufassar dan muhkam-mutasyabih, hingga kaidah penunjukan makna seperti yang dirumuskan ulama hanafiah, yaitu dalalah al-ibarah, dalalah al-isyarah, dalalah al-dilalah dan dalalah al-iqtidha, dan ulama Syafi’iyah, yaitu kaidah manthuq-mafhum. Konsep-konsep tersebut hampir telah disepakati menjadi instrumen hermeneutis (metodis) tunggal atas pemahaman nash-nash keagamaan (nushush al-diniyah) (Syaikh Khalid Abdur Rahman al-'Ak, 1986: 127, 321-371).

Meski demikian, menggunakan cara berpikir bayâni yang berangkat dari analisis kebahasaan (atas sistem tanda-struktur bahasa) saja, tidaklah cukup. Sebab, sebuah teks hadir di dalam ruang dan waktu yang kongkrit. Al-Quran dan hadist misalnya, hadir dalam situasi sosial dan budaya Arab pada abad ke-7. Asumsi ini menegaskan bahwa Al-Quran selalu terlibat dalam hubungan timbal balik (mengalami interaksi dialektis) dengan budaya setempat dimana Al-Quran hadir (diturunkan). Adanya proses tadrîj al-wahy (gradualisme pewahyuan) dan asbâb al-nuzûl (sebab turunnya ayat), membuktikan keniscayaan dialektis dan interaksi dinamis tersebut (Nashr Hamid Abu Zaed, 2005: ). Menurut Kenneth Cragg (1971: 17), Al-Quran tak mungkin menjadi wahyu jika tidak terkait dengan berbagai peristiwa. Dalam bahasa Richard C. Martin, Al-Quran tidak akan bermakna ‘sesuatu’ jika berada di luar konteks sosial-budaya.

Keterlibatan hubungan dialektis tersebut dapat melahirkan kemungkinan-kemungkinan dan keniscayaan berikut. Pertama, nash-nash Al-Quran sangat dimungkinkan dan meniscayakan berisi jawaban atau respons terhadap masalah-masalah aktual dalam masyarakat. Hal ini misalnya dapat dilihat dari jawaban Al-Quran mengenai beberapa masalah yang diajukan para sahabat Nabi dan masyarakat Arab. Misalnya, pertanyaan mengenai bulan sabit (QS. Al-Baqarah [2]: 189), kekayaan yang harus dermakan ((QS. Al-Baqarah [2]: 215), perang di bulan Haram ((QS. Al-Baqarah [2]: 217), khamr dan judi ((QS. Al-Baqarah [2]: 219), masalah anak yatim (QS. Al-Baqarah [2]: 220), darah haid ((QS. Al-Baqarah [2]: 222), pekerjaan yang dibolehkan (QS. Al-Maidah [5]: 4), hari kiamat (QS. Al-A’raf [7]: 187; al-Nazi’at [79]: 42), harta rampasan perang (QS. Al-Anfal [8]: 1), tentang ruh (QS. Al-Isra [17]: 85), Dzil Qarnain (QS. Al-Kahfi [18]: 83), masalah gunung-gunung (QS. Thaha [20]: 105), serta sejumlah pertanyaan dan pernyataan Al-Quran lainnya.

Kedua, nash-nash Al-Quran, sangat dimungkinkan memuat konsep-konsep (doktrin, etik, aturan legal) yang telah dikenal oleh masyarakat Arab, meski kemudian diintegrasikan ke dalam pandangan dunianya, sehingga menjadi konsep-konsep yang otentik Al-Quran (Kuntowijoyo, 1992 : 328). Contoh tentang hal ini, ditulis secara baik oleh Toshihiko Izutsu dalam karyanya Konsep-konsep Etika Religius dalam Quran. Menurut Izutsu, istilah karim “كريم” (murah hati) merupakan suatu istilah kunci dalam kosa kata jahiliyah yang berarti kemuliaan garis keturunan yang berkait erat dengan kedermawanan yang luar biasa. Istilah karim ini diangkat oleh Al-Quran, kemudian diintegrasikan dengan pandangan dunianya tentang taqwa (QS. al-Hujurat [49] : 13) sehingga menjadi konsep Al-Quran yang otentik. Dalam konsep Al-Quran, istilah karim digeser dari konsep garis keturunan dan kedermawanan menjadi konsep karim dalam ketaqwaan. Contoh yang lain dikemukakan oleh Izutsu seperti dalam bagian tulisannya tentang Islamisasi Kebijakan Arab Kuno, misalnya tentang keberanian, kesetiaan, kejujuran dan kesabaran (Toshihiko Izutsu, 1993 : 3).

Kemungkinan-kemungkinan di atas, memperkuat asumsi bahwa sebuah teks, termasuk nash Al-Quran, bukan semata sebagai himpunan huruf-huruf atau sistem-sistem tanda yang mati atau hampa budaya. Teks atau nash keagamaan (Al-Quran) sesungguhnya lebih merupakan bentuk kristalisasi linguistik dari realitas (Kazuo Simogaki, 1994 : 52). Artinya, teks atau nash Al-Quran tidak semata memuat huruf-huruf atau sistem-sistem tanda kebahasaan, melainkan memuat pikiran-pikiran (kognisi), praktik sosial, dan ideologi saat teks tersebut hadir atau 'diproduksi'. Studi akademik tentang hal ini secara luas dapat dipelajari dalam teori analisis wacana seperti yang dikembangkan oleh Teun A. van Dijk, Fairclough, Ruth Wodak, Roger Fowler, Robert Hodge, Gunther Kress dan Tony Trew. Diantara hasil studi Teun A. van Dijk menyimpulkan bahwa faktor kognisi sosial merupakan elemen penting dalam produksi wacana (pemakaian bahasa, baik dalam tuturan maupun tulisan). Fairclough dan Ruth Wodak, menyimpulkan bahwa wacana (pemakaian bahasa dalam tuturan dan tulisan) merupakan bentuk dari praktik sosial. Sementara studi Roger Fowler, Robert Hodge, Gunther Kress dan Tony Trew menyimpulkan bahwa ideologi dan kekuasaan adalah bagian yang selalu hadir ketika pilihan sintaksis atau gramatikal diambil. Hal senada dikemukan juga oleh Fairclough bahwa dalam suatu teks selalu terkandung idiologi, baik yang tampil secara nyata maupun tersembunyi. Ideologi tersebut, termanifes dalam pemakaian kosa kata, kalimat dan tata bahasa tertentu (Eryanto, 2000: 7-8, 134 dan 287). Studi ini memperkuat kajian semantik Toshihiko Izutsu di atas. Istilah "karim" misalnya, memuat pikiran, praktik dan ideologi sosial masyarakat Jahiliyah yang menonjolkan sifat kedermawanan. Namun, Al-Quran merubahnya dengan memperkenalkan ideologi atau pandangan dunia (worldview) baru yang menekankan sifat ketaqwaan.

Oleh karena itu, untuk memahami nash keagamaan (Al-Quran), diperlukan cara berpikir atau pendekatan lain yang lebih bersifat terbuka, kritis dan kontekstual. Dalam hal ini, cara berpikir atau pendekatan burhâni dan irfâni dapat dimanfaatkan. Cara berpikir burhâni adalah cara berpikir saintifik, yaitu dengan menggabungkan antara analisis rasional-filosofis dan analisis konteks empiris (historis, sosio-antropologis dan politis-ideologis). Melalui pendekatan burhâni ini kita tidak hanya dapat mengungkapkan konteks kesejarahan dari suatu risalah keagamaan, tetapi juga dapat mengungkap akar pemikiran, nilai-nilai spiritualitas, kandungan filosofis, dan local wisdom (kearifan lokal)nya serta visi pencerahan dan kritik sosialnya. Dalam perspektif berpikir burhani ini, beberapa pendekatan dalam tradisi keilmuan sosial (antropologi, sosiologi, sejarah) dan humaniora (filsafat, hermeneutik, sastra) dapat dimanfaatkan. Sementara melalui pendekatan irfâni (penerapan analisis esoterik-intuitif), diharapkan dapat menangkap makna haqîqat atau makna terdalam di balik teks dan konteks. Jika asumsi dasar atau paradigma bayani lebih melihat teks sebagai sebuah fenomena kebahasaan, sementara paradigma burhâni lebih melihat teks sebagai suatu yang berkaitan dengan konteks, maka paradigma irfâni, lebih melihat teks sebagai sebuah simbol dan isyarat (al-ramziyat wa al-îmâ`) yang menuntut pembacaan dan penggalian makna terdalam (bathin) dari simbol-simbol dan isyarat-isyarat tersebut dengan melibatkan kecerdasan emosional, kecerdasan sosial dan kecerdasan spiritual.

Ketiga pendekatan di atas, saling berkait-erat antara satu dengan yang lainnya dan membentuk hubungan dialogis-melingkar (sirkuler-dialektis): memahami teks (bayâni), tidak dapat dipisahkan dari pemahaman konteksnya (burhâni); pemahaman konteks (burhani), tidak dapat terlepas dari pemahaman teks itu sendiri (bayâni); sementara pemahaman makna terdalam (irfâni), membutuhkan pemahaman teks dan kontek sekaligus. Berdasar ketiga pendekatan ini, maka diharapkan problem agama dan kehidupan, mendapat penjelasan secara komprehensif, baik normativitas, historisitas maupun spiritualitas terdalamnya, sehingga dapat dijadikan basis kebijakan aktual dalam pengembangan strategi kebudayaan dan pembangunan.

Selama ini, cara berpikir kita masih didominasi oleh cara berpikir bayâni dengan peradaban fiqih yang sangat rigid (cara pandang syari’ah oriented). Cara berpikir ini, antara lain bercirikan: pertama, cenderung memegang teguh literal kitab suci dan mengurangi—untuk tidak menyatakan tidak menerima—proses ijtihad nalar. Kedua, cenderung lebih banyak berpegang pada aturan secara legal-formal dan mengabaikan moralitas agama. Ketiga, cenderung lebih banyak menggunakan pendekatan otoritatif, sehingga tidak sembarang orang dibolehkan menafsirkan Kitab Suci. Keempat, cenderung lebih menjungjung tinggi ideal-moral agama tanpa banyak mempertimbangkan perkembangan masyarakat dan nalar zaman. Kelima, cenderung lebih banyak berpegang pada pendapat ulama zaman lampau dan terkadang memaksakan untuk diterima pada zaman sekarang yang berbeda. Keenam, cenderung meniadakan keragaman pendapat. Cara berpikir bayâni selalu bersifat oposisi biner atau penilaian hitam putih.

Akibatnya, keagamaan kita menjadi tertutup dari temuan ijtihad-ijtihad baru yang bersumber dari nalar atau peradaban akal hari ini. Keagamaan kita masih belum selesai dalam memecahkan ketegangan antara nalar dogmatis teologis dengan nalar ilmiah. Kita selalu mempertentangkan antara agama dan HAM, pluralisme, liberalisme, demokrasi dan sejumlah isu lainnya, tanpa banyak membangun wacana baru keagamaan yang konstruktif, dialogis dan transformatif. Wacana keagamaan kita malah berkutat pada isu-isu teologis dogmatis yang sama sekali tidak mendorong kepada perubahan dan kemajuan sosial, kemanusiaan maupun peradaban. Oleh karena itu, dalam pengembangan cara berikir keagamaan perlu mempertimbangkan cara berpikir burhani dan irfani. Cara berpikir burhani dan irfani ini, antara lain, bercirikan: pertama, mempertimbangkan atau tidak mengenyampingkan proses ijtihad nalar. Kedua, mempertimbangkan aspek moralitas agama, disamping legal formal. Ketiga, mempertimbangkan perkembangan masyarakat dan nalar zaman. Keempat, mempertimbangkan temuan-temuan peradaban kontemporer. Kelima, mempertimbangkan keragaman pemahaman. Allahu A’lam.

Tidak ada komentar: